Naruto - Animated Dancing Akatsuki Tobi

Rabu, 04 November 2015

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH (ASKEP BPH)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS BPH
BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Penting bagi kita untuk mengetahui penyakit Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), karena hampir setiap 50% pria diatas 60 tahun mengalami hiperplasia prostat, atau yang disebut dengan pembesaran pada kelenjar prostat. Salah satu tanda dan gejala pada penyakit BPH ini adalah sulit untuk Buang Air Kecil (BAK). Penyakit BPH ini belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan berhubungan dengan ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron di dalam prostat. (Elizabeth, 2009). Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) menurut Marilyn (2000) merupakan pembesaran progresif pada kelenjar prostat yang terjadi pada pria berusia diatas 50 tahun, menyebabkan derajat obstruktif uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Rudi, 2012). Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan perawat mempunyai peran yang penting dalam pencegahan dan pengobatan pasien BPH.
Menurut data WHO (2013), memperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus degeneratif. Salah satunya adalah BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak 19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5,35% kasus. Yang ditemukan pada pria dengan usia lebih dari 65 tahun dan dilakukan pembedahan setiap tahunnya. Tingginya kejadian BPH di Indonesia telah menempatkan BPH sebagai penyebab angka kesakitan nomor 2 terbanyak setelah penyakit batu pada saluran kemih. Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, diantaranya diderita pada pria berusia di atas 60 tahun. Di Jawa Timur  tepat  672.502 kasus BPH pada tahun 2013. Di Ngawi jumlah klien yang ada di ruang bedah pada tahun 2013 sebanyak 70 kasus. Pada tahun 2014 sebanyak 45 kasus BPH (Riskesdas, 2013).
Menurut Mansjoer Arif (2000) umumnya pembesaran prostat terjadi setelah usia pertengahan akibat proses penuaan dan perubahan hormonal. Jika penyakit BPH ini tidak segera di tangani maka akan mengalami pembesaran secara perlahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat seperti balok. Penonjolan serat detrusor yang terlihat seperti balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar diantara serat detrusor sehngga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi, dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine yang akan berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Rudi, 2012).
Pencegahan penyakit BPH itu sendiri dapat diterapkan dengan membudidayakan pola hidup sehat seperti mengkonsumsi buah yang mengandung antioksidan, makanan rendah lemak dan kaya serat, olahraga teratur serta melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Tidak semua pasien yang mengalami hiperplasia prostat harus menjalani operasi atau tindakan medik. Terkadang merekan hanya mengeluh (Lower Urinary Tract Symptoms) atau LUTS ringan, namun dapat sembuh sendiri tanpa terapi. Tetapi jika keadaan klien tersebut sudah parah maka harus segera dilakukan tindakan medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endroulogi. Sebagai perawat dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien BPH dalam upaya kuratif yaitu memberikan obat sesuai dengan petunjuk, pemberian antikolinergik bertujuan untuk mengurangi spasme kandung kemih serta pemberian cairan infus dan cairan oral untuk pengeluaran urine. Sedangkan dalam upaya rehabilitatif diperlukan agar klien mampu memelihara kesehatannya sendiri dan mampu beraktivitas kembali dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti gangguan eliminasi dengan cara pemantauan dalam pemasangan kateter, perawatan kateter menggunakan teknik aseptik, dan mencegah distensi kandung kemih yang menyebabkan perdarahan. Sangat diperlukan peran serta keluarga dalam pemberian asuhan keperawatan klien dengan post prostatektomy baik di rumah sakit maupun di rumah karena ini merupakan peran perawat sebagai edukator (Nursalam & Fransisca, 2006). 
1.2  Rumusan Masalah
Untuk mengetahui lebih lanjut dari perawatan penyakit ini maka penulis akan melakukan kajian lebih lanjut dengan malakukan Asuhan Keperawatan BPH dengan membuat rumusan masalah sebagai berikut “ Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada klien dengan diagnose post-op BPH di Ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi “?
1.3  Tujuan Penelitian
1.3.1        Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengidentifikasi asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa post-op BPH di Ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi  Tahun 2015.
1.3.2        Tujuan Khusus
1.      Mengkaji klien dengan diagnosa post-op di ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi Tahun 2015.
2.      Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan diagnosa post-op BPH di ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi Tahun 2015.
3.      Merencanakan asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa post-op  BPH di ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi Tahun 2015.
4.      Melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa post-op BPH di ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi Tahun 2015.
5.      Mengevaluasi klien dengan diagnosa post-op BPH di ruang Bedah RSUD Dr. SOEROTO Ngawi Tahun 2015.
6.      Mendokumentasikan asuhan keperawatan klien dengan diagnosa post-op BPH di ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi Tahun 2015.
1.4  Manfaat
Terkait dengan tujuan, maka tugas akhir ini diharapkan dapat memberi manfaat :
1.      Akademis, hasil studi kasus ini merupakan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal asuhan keperawatan pada klien BPH.
2.      Secara praktis, tugas akhir ini akan bermanfaat bagi :
a.       Pelayanan keperawatan di Rumah Sakit
Hasil studi kasus ini, dapat menjadi masukan bagi pelayanan di Rumah Sakit agar dapat melakukan asuhan keperawatan klien post-op BPH dengan baik.
b.      Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan bagi peneliti berikutnya, yang akan melakukan studi kasus pada asuhan keperawatan pada klien post-op BPH.
c.       Profesi kesehatan
Sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang asuhan keperawatan pada klien post-op BPH.
1.5  Metode Penulisan
1.      Metode
Metode deskriptif yaitu suatu metode yang mengungkapkan peristiwa atau gejala yang terjadi pada waktu sekarang meliputi metode penulisan, teknik pengumpulan data, sumber data, studi kepustakaan yang mempelajari, mengumpulkan, membahas dan dengan studi pendekatan proses keperawatan dengan langkah – langkah pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2.      Teknik Pengumpulan Data
a.       Wawancara
Wawancara atau interviu merupakan metode pengumpulan data secara langsung yang dilakukan oleh perawat terhadap klien. Disini, perawat akan (pewawancara) memperoleh data secara langsung dari klien serta mendapatkan respons langsung dari klien melalui tatap muka dan pertanyaan yang diajukan. Data wawancara merupakan semua ungkapan atau penyataan klien, tenaga kesehatan, atau orang lain yang berkepentingan termasuk keluarga, teman, dan orang terdekat klien (Asmadi,2008).

b.      Observasi
Merupakan metode pengumpulan data dengan pengamatan visual melalui panca-indra. Kemampuan dalam melakukan observasi memerlukan banyak latihan dan ketrampilan tingkat tinggi. Unsur terpenting dalam observasi adalah mempertahankan objektifitas penilaian. Mencatat hasil observasi secara khusus tentang apa yang dilihat, dirasa, didengar, dicium, dan dikecap akan lebih akurat dibandingkan mencatat interpretasi seseorang tentang hal tersebut (Asmadi,2008).
c.       Pemeriksaan
Pemeriksaan menurut Carol V.A. (1991) adalah proses inspeksi sistem tubuh manusia untuk menentukan ada tidaknya suatu penyakit melalui hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium. Cara pendekatan sistematis yang dapat digunakan oleh perawa adalah pemeriksaan fisik dari ujung rambut hingga ujung kaki (head to toe) dan pendekatan berdasarkan sistem tubuh (review of system). Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan emapt metode, yakni inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Keempat metode tersebut hendaknya dilakukan secara berurutan (Asmadi, 2008).
3.      Sumber Data
a.       Data Primer
Data Primer adalah data yang didapatkan dari klien untuk menggali informasi mengenai masalah kesehatan klien (Setiadi,2012).
b.      Data Sekunder
Data Sekunder adalah data atau informasi yang didapat dari orang tua, suami atau istri, teman klien atau orang terdekat klien (Setiadi,2012).
c.       Data Tersier
Data yang diperoleh dari catatan klien, riwayat penyakit klien, konsultasi, hasil pemeriksaan diagnostik, catatan medis dari anggota tim kesehatan lain, perawat lain, kepustakaan (Setiadi,2012).           
4.      Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan yaitu mempelajari buku sumber yang berhubungan dengan judul studi kasus dan masalah yang dibahas.
1.6  Sistematika Penulisan
Supaya lebih jelas dan lebih mudah dalam mempelajari dan memahami studi kasus ini, secara keseluruhan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1.      Bagian awal, memuat halaman judul, persetujuan komisi pembimbing, pengesahan,   kata pengantar dan daftar isi.
2.      Bagian inti, terdiri dari lima bab, yang masing – masing bab terdiri dari sub bab berikut :
BAB 1  : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan studi kasus.
BAB 2  : Tinjauan Pustaka, berisi tentang konsep penyakit dari sudut medis dan asuhan keperawatan klien dengan diagnosa morbili, serta kerangka masalah.
BAB 3  : Tinjauan  Kasus, berisi tentang diskripsi data hasil pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
BAB 4  : Pembahasan, berisi tentang perbandingan antara teori dengan kenyataan yang ada dilapangan.
BAB 5  : Penutup, berisi tentang simpulan dan saran.
3.      Bagian akhir, terdiri dari daftar pustaka dan lampiran.





BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab 2 ini akan diuraikan secara teoritis mengenai konsep penyakit dan asuhan keperawatan pasien BPH. Komsep penyakit yang akan diuraikan definisi, etiologi dan cara penanganan secara medis. Asuhan keperawatan akan diuraikan masalah – masalah yang muncul pada penyakit BPH dengan melakukan asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
2.1  Konsep Penyakit
2.1.1        Pengertian BPH
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra prostatika (Muttaqin & Sari, 2011).
BPH (Benigna Prostat Hyperplasi) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (Rendy & Margareth, 2012).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 2002).



2.1.2        Etiologi
Menurut Sjamsuhidayat & jong (2005) penyebab yang pasti dari terjadinya BPH belum diketahui secara pasti, beberapa hipotesis menyatakan bahwa gangguan ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
1.      Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada lanjit usia.
2.      Peran faktor pertumbuhan sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
3.      Berkurangnya sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup sel-sel prostat.
4.      Teori sel stem. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
2.1.3        Manifestasi  Klinis
Menurut Kahan & Raves (2011) manifestasi klinis penyakit BPH adalah :
1.      Pada awalnya atau saat terjadinya pembesaran prostat, tidak ada gejala, sebab tekanan otot dapat mengalami kompensasi untuk mengurangi resistensi uretra.
2.      Gejala obstruksi, hesistensi, ukurannya mengecil dan menekan pengeluaran urine, adanya perasaan berkemih tidak tuntas, dan retensi urine.
3.      Terdapat gejala iritasi, berkemih mendadak, sering dan nokturia.
2.1.4   Tanda dan gejala
Menurut Kahan & Raves (2011)  tanda dan gejala dari BPH adalah :
1.      Gejala obstruktif
a.       Hesitansi (sulit memulai miksi,harus menunggu lama)
b.      Pancaran miksi lemah
c.       Intermiten (Kencing terputus-putus)
d.      Rasa tidak puas setelah miksi
e.       Menetes setelah miksi
f.       Waktu miksi memanjang sehingga terjadi retensi urine
2.      Gejala iritasi
a.       Sering miksi (frekuensi)
b.      Terbangun pada malam hari karena keinginan untuk miksi (nokturia)
c.       Perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi)
d.      Nyeri saat miksi (disuria)
2.1.5        Anatomi dan Fisiologi BPH
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi/ mengitari uretra poterior dan di sebelah proksimalnya berhubungan dengan buli- buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kenari atau jeruk nipis. Ukuran panjangnya  4-6 cm, lebar sampai 3-4cm dan tebal ± 2-3 cm. Beratnya sekitar 20 gram (Jitowijoyo & Kristianasari, 2012).
Gambar 2.1 prostat normal dan pembesaran prostat (Citra, 2009)
Fungsi prostat adalah menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna untuk melindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terdapat pada uretra dan vagina, juga berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10-30% dari ejakulasi. Di bawah kelenjar ini terdapat kelenjar bulbo uretralis yang memiliki panjang 2-5 cm, fungsi hampir sama dengan kelenjar prostat. Kelenjar ini menghasilkan sekresi yang penyalurannya dari testis secara kimiawi dan fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa. Sewaktu perangsangan seksual, prostat mengeluarkan cairan encer seperti susu yang mengandung berbagai enzim dan ion ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan vesikula seminalis dan sperma. Cairan prostat bersifat basa (alkalis). Sewaktu mengendap di cairan vagina wanita, bersama dengan ejakulat yang lain, cairan ini dibutuhkan karena motilitas sperma akan berkurang dalam lingkungan dengan pH rendah (Wijaya & Putri, 2013).
2.1.6        Patofisiologi
BPH terjadi pada umur yang semakin tua (> 45 tahun) dimana fungsi testis sudah menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan dehidrostestosteron sehingga memacu pertumbuhan/pembesaran prostat (Rendy & Margareth, 2012).
Pada tahap awal setelah terjadi  pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakula (tonjolan mukosa yang kecil) atau divertikel (tonjolan mukosa yang besar). Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Wijaya & Putri, 2013).
Adapun patofisiologi dari masig-masing gejala menurut Sjamsuhidayat & Jong (2005) adalah :
a.    Pancaran miksi menjadi lemah karena adanya obstruksi saluran kemih.
b.    Hesitancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
c.    Intermitten terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak dalam buli-buli.
d.   Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
e.    Frekuensi bertambah terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang selama tidur.
f.     Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter. 
2.1.7   Diagnosa Banding
Menurut Kahan & Raves (2011) diagnosa banding penyakit BPH adalah:
1.        Infeksi (Sistitis/ uretritis, prostatitis).
2.        Striktur uretra.
3.        Batu buli.
4.        Kanker prostat.
5.        Buli neurogenik.
2.1.8   Komplikasi
Menurut Wijaya & Putri (2013)  komplikasi dari BPH adalah :
1.    Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, serta gagal ginjal.
2.    Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada saat miksi.
3.    Hernia atau haemorhoid.
4.    Terbentuknya batu, karena selalu terdapat sisa urine di kandung kemih.
5.    Hematuria.
6.    Sistitis dan pielonefritis.
2.1.9   Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit BPH menurut Rendy & Margareth (2012) adalah :
1.      Pengukuran besarnya hipertrofi prostat dengan cara :
a.       Rectal garding, yaitu dengan rectal toucher diperkirakan berapa cm prostat yang menonjol ke dalam lumen rektum yang dilakukan sebaiknya pada saat buli-buli kosong.
Gradasi ini adalah :                      
1)      0-1 cm : grade 0
2)      1-2 cm : grade 1
3)      2-3 cm : grade 2
4)      3-4 cm : grade 3
5)      4 cm : grade 4
b.      Clinical grading, dalam hal ini urine menjadi patokan. Pada pagi hari setelah bangun pasien disuruh kencing sampai selesai, kemudian di masukan kateter ke dalam buli-buli untuk mengukur sisa urine.
1)   Sisa urine 0 cc : normal
2)   Sisa urine 0-50 cc : grade 1
3)    Sisa urine 50-150 cc : grade 2
4)    Sisa urine > 150 cc : grade 3
5)    Tidak bisa kencing : grade 4
c.    Intra uretral grading, dengan alat perondoskope dengan diukur/dilihat berapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen uretra.
1)      Grade 1 : Clinical grading sejak berbulan-bulan, berbulan-bulan, bertahun-tahun, mengeluh kalau kencing tidak lancar, pancaran lemah, nokturia.
2)      Grade 2 : Bila miksi terasa panas, sakit, disuria.
3)      Grade 3 : Gejala makin berat.
4)      Grade 4 : Buli-buli penuh, disuria, overflow inkontinence. Bila overflow inkontinence dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien menggigil, panas 40 41° C, kesadaran menurun.
2.      Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria.
3.      Pemeriksaan Radiologis
1)      USG (Transuretal Ultrasonografi Prostat) untuk menentukan volume prostat.
2)      Trans-abdominal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika.
3)      Cystocopy adalah prosedur pemeriksaan dengan sebuah tabung fleksible berlensa yang dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk melihat adanya penebalan pada dinding kandung kemih.
2.1.10    Pencegahan
Menurut  Nanda & Nic-Noc, 2013 BPH dapat dicegah dengan  :
1.      Menghentikan kebiasaaan merokok
Orang yang cenderung mengkonsumsi rokok akan meningkatkan resiko terjadinya BPH, sebab rokok banyak mengandung nikotin. Rokok dapat meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan  kadar testosteron.
2.      Menjaga kebersihan
Kebersihan saat aktivitas seksual juga dapat berdampak pada BPH karena aktivitas seksual yang tidak di jaga kebersihannya menyebabkan infeksi prostat yang selanjutnya mengakibatkan BPH.
3.      Aktivitas seksual
Orang yang berlebihan dalam aktifitas seksual akan mengalami peningkatan tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika tekanan darah ke prostat selalu tinggi, akan terjadi hambatan prostat yang mengakibatkan kalenjar tersebut bengkak permanen. Seseorang akan memiliki risiko terkena BPH lebih besar bila pada anggota keluarganya ada yang menderita BPH atau kanker Prostat.


4.      Menjaga pola hidup yang baik
Menjaga pola hidup yang baik seperti makan makanan yang  banyak mengandung vitamin, menghindari kosumsi alkohol mengehindari pola makan tinggi lemak, mengkonsumsu makanan tinggi serat dan berolah raga secara teratur.
2.1.11    Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit BPH menurut Wijaya & Putri (2013) dan Brunner & Suddarth (2002) adalah sebagai berikut :
1.      Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol supaya tidak selalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.
2.      Terapi medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk :
a.       Mengurangi retensio otot polos prostate sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenalik α.
b.      Mengurangi volume prostate sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5 α-redukstate.
1)      Penghambat enzim
Obat yang dipakai adalah Finasteride dengan dosis 1x5 mg/hari, obat golongan ini dapat menghambat pembentukan dehate sehingga prostate dapat membesar akan mengecil. Tetapi obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido, ginekomastio, dan dapat menurunkan nilai PSA.
2)      Filoterapi
Pengobatan filoterapi yang ada di Indonesia yaitu eviprostat. Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan.
3.      Pembedahan
1)        Reseksi transuretral prostat (TURP) adalah prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan melalui endoskopi. Instrumen bedah dan optikal dimasukkan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menyebabkan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrograde kerena pengangkatan jaringan prostat pada kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.
Gambar 2.2 Reseksi Transuretral Prostat (Omini, 2013)
2)        Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat ke atas. Pendekatan ini dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, beberapa komplikasi terjadi, meskipun kehilangan darah mungkin lebih banyak dibanding metode lainnya. Kerugian lainnyaadalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
Gambar 2.3 Prostatektomi Suprapubis (Rachmawati dkk, 2011)
3)        Prostatektomi parineal adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Pendekatan ini lebih lebih praktis ketika pendekatan lainnya tidak memungkinkan, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Pada periode pascaoperatif, luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektum. Lebih jauh lagi, inkontinensia, impotensi, atau cedera rektal lebih mungkin menjadi komplikasi dari pendekatan ini.
Gambar 2.4 Prostatektomi Perineal (Omini, 2013)
4)        Prostatektomi retropubik adalah  teknik lain dan lebih umum dibanding pendekatan suprapubik. Insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang hilang lebih dapat dikontrol baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis.
Gambar 2.5 Prostatektomi Retropubik (Mullen, 2010)
2.1.12    Dampak Masalah
Masalah yang sering terjadi pada pasien BPH menurut Muttaqin & Sari (2009) adalah nyeri testis dan prostat, hesistensi, hematuria, inkontinensia urine.
1.      Nyeri testis dan prostat
Nyeri yang dirasakan pada daerah kantong skrotum bisa bersal dari kelainan organ di kantong skrotum atau nyeri alih yang berasal dari kelainan organ di luar kantong skrotum. Nyeri akut yang disebabkan oleh kelainan organ di kantong testis dapat disebabkan oleh torsio testis atau torsio apendiks testis, epididimtis/orkitis akut, atau trauma pada testis. Inflamasi akut pada testis atau epididimis menyebabkan peregangan pada kapsulnya sehingga dirasakan sebagai nyeri hebat.


2.      Infeksi
Infeksi merupakan invasi oleh patogen atau mikroorganisme yang mampu menyebabkan sakit. Jika mikro organisme gagal menyebabkan sakit dapat mengakibatkan hal yang lebih serius dari sel dan jaringan (Potter & Perry, 2005). Infeksi saluran kandung kemih dan epididimis adalah komplikasi yang mungkin setelah prostatektomi. Pasien dikaji terhadap yang terjadinya dan diberikan antibiotik sesuai yang diresepsikan. Penatalaksanaan tentang epididimitis diuraikan berikut ini.Trombosis, pasien yang menjalani prostatektomi mempunyai insidens tinggi untuk mengalami trombosis vena profunda (DVT) dan embolisme pulmoner. Dalam kasus seperti ini dokter dapat meresepkan terapi heparin dosis rendah profilaktik. Perawat mengkaji pasien dengan sering terhadap manifestasi TVP setelah pembedahan dan memasang stoking elastik untuk mengurangi risiko TVP dan embolisme pulmoner. Klien yang mendapat heparin harus dipantau dengan ketat terhadap perdarahan berlebihan.
3.      Hesistansi
Hesistansi adalah awal keluarnya urine menjadi lebih lama dan sering kali pasien harus mengejan untuk memulai miksi. Setelah urine keluar, pancarannya menjadi lemah, tidak jauh dan kecil yang biasanya disebabkan oleh obstruksi pada saluran kemih.Intermitensi, merupakan keluhan miksi dimana pada pertengahan miksi sering kali mikis berhenti, kemudian memancar lagi, dan keadaan ini terjadi berulang-ulang. Miksi diakhiri dengan perasaan masih terasa ada sisa urine di dalam kandung kemih dan masih ada tetesan-tetesan urine yang keluar.
4.      Hematuria
Hematuria merupakan suatu keadaan didapatkannya sel darah merah di dalam urine. Porsi hematuria yang keluar perlu diperhatikan, apakah terjadi pada saat awal miksi, seluruh proses miksi, atau akhir miksi. Perawat perlu mengkaji mendalam keluhan hematuria, terutama pada pasien hematuria tanpa adanya riwayat trauma pada saluran kencing. Khususnya keluhan hematuria disertai nyeri yang kemungkinan menunjukkan adanya keganasan di saluran kemih.
5.      Inkontinensia urine 
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan urine yang keluar dari kandung kemih, baik disadari ataupun tidak disadari. Menurut Purnomo (2003), terdapat beberapa macam inkontinensia urine, yaitu inkontinensia kontinu  (true), inkontinensia stres, inkontinensia urgensi (urge), dan inkontinensia paradoksal (overflow).
2.2         Konsep Nyeri
2.2.1        Pengertian nyeri
        Nyeri adalah kondisi yang sangat tidak menyenangkan dan sangat individual yang tidak dapat berbagi dengan orang lain. Nyeri dapat mempengaruhi  seluruh pikiran seseorang , mengatur aktivitasnya, dan mengubah kehidupan seseorang tersebut (Berman dkk, 2009).

2.2.2        Klasifikasi nyeri
Klasifikasi nyeri menurut  Berman dkk (2009) adalah sebagai berikut :
Nyeri dapat dijelaskan berdasarkan durasi, lokasi, atau etiologi. Ketika nyeri hanya dirasakan selama periode penyembuhan yang diharapkan, nyeri disebut sebagai berikut:
1.      Nyeri akut
Baik yang awitan tiba-tiba atau yang lambat dan tanpa memperhatikan insidentitasnya.
2.      Nyeri kronis
Merupakan nyeri yang berlangsung berkepanjangan . biasannya nyeri dapat berulang atau menetap sampai enam bulan atau lebih, selain itu mengganggu fungsi tubuh.
Nyeri  dapat dikategorikan menurut asalnya yaitu:
1.      Nyeri kutanius 
Nyeri yang berasal dari kulit atau jaringan subkutan contoh nyeri subkutan seperti nyeri akibat teriris kertas menimbulkan nyeri yang tajam dengan sedikit rasa terbakar.
2.      Nyeri somatik dalam
Nyeri ini berasal dari ligamen,tendon,tulang,pembuluh darah dan syaraf. Nyeri tersebut menyebar dan cenderung berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri kutaneus.



3.      Nyeri visial
Nyeri visial cenderung menyebar seperti terasa terbakar, gatal, atau terasa seperti ada tekanan. Nyeri visial disebabkan oleh meregangnya jaringan iskemia, atau spasme otot.
4.      Nyeri radiasi (nyeri yang menyebar)
Nyeri ini dirasakan pada sumber nyeri dan menyebar ke jaringan sekitarnya contoh  nyeri dada yang tidak dirasakan di dada saja tetapi juga di sepanjang bahu kiri dan turun ke lengan.
5.      Nyeri alih
Nyeri yang dirasakan yang dirasakan jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri.
6.      Nyeri yang tidak dapat dilacak
Nyeri ini bersifat sangat sulit diatasi contohnya  adalah nyeri yang bersal dari keganasan tingkat lanjut.
7.      Nyeri neuropatik
Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf pusat atau tepi. Nyeri neuropatik dapat berlangsung lama, perasaan tidak menyenangkan,dan dapat digambarkan seperti rasa terbakar, tumpul, dan gatal.
8.      Nyeri phantom
Sensasi sangat menyakitkan yang dirasakan pada bagian tubuh yang hilang atau yang mengalami paralisis karena cedera medula spinalis. Nyeri neuropatik dapat didapatkan   dibedakan dari sensasi phantom yaitu perasaan bahwa bagian tubuh yang hilang masih tetap ada.
2.3         Konsep Dasar Aktivitas
2.3.1   Pengertian Aktivitas
Aktivitas adalah suatu energy atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup (Tarwoto & Wartonah, 2006).
2.3.2        Fisiologi Pergerakan
Fisiologi pergerakan menurut Tarwoto & Wartonah (2006) Pergerakan merupakan rangkaian yang terintegrasi antara sistem musculoskeletal dan sistem persarafan.
Sistem skeletal berfungsi:               
1.    Mendukung dan member bentuk jaringan tubuh.
2.    Melindungi bagian tubuh tertentu seperti paru, hati, ginjal, otak, paru-paru.
3.    Tempat melekatnya otot dan tendon.
4.    Sumber mineral seperti garam dan fosfat.
5.    Tempat produksi sel darah.
Sistem otot berfungsi sebagai:
1.    Pergerakan.
2.    Membentuk postur.
3.    Produksi panas karena adanya kontraksi dan relaksasi.
Sistem persarafan berfungsi:
1.    Saraf afferent menerima rangsangan dari luar kemudian diteruskan ke susunan saraf pusat.
2.    Sel saraf atau neuron membawa impuls dari bagian tubuh satu ke lainnya.
3.    Saraf pusat memproses impuls dan kemudian memberikan respons melalui saraf efferent.
4.    Saraf efferent menerima respons dan diteruskan ke otot rangka.
Tiga faktor proses terjadinya pergerakan, antara lain:
1.    Stimulasi saraf motorik
     Kontraksi otot dimulai karena adanya stimulasi dari saraf motorik yang dikontrol oleh korteks serebri, cerebellum, batang otak, dan basal ganglia. Upper motor neuron merupakan saraf yang berjalan dari otak ke sinaps pada bagian anterior horn medulla spinalis, sedangkan lower motor neuron merupakan saraf-saraf yang keluar dari medulla spinalis menuju ke otot rangka. Signal listrik dan potensial aksi terjadi sepanjang mealin sepanjang akson saraf motorik yang berjalan secara Saltatory Conduction. Impuls listrik berjalan dari saraf motorik ke sel otot melalui sinaps dengan bantuan neutransmiter asetilkolin.
2.    Transmisi neuromuscular
          Asertilkolin dihasilkan dari vesikel pada akson terminal. Adanya depolarisasi dan potensial aksi pada akson terminal merangsang ion kalsium dari cairan ekstraseluler kemudian terjadi perpindahan ke membrane akson terminal. Bersamaan dengan itu, molekul asetilkolin masuk ke celah sinaps yang selanjutnya akan ditangkapoleh reseptor maka terjadilah potensial aksi pada sel otot dan terjadilah kontraksi. Setelah asetilkolin terpakai selanjutnya dipecah atau dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase menjadi kolin yang kemudian ditranspor kemali ke akson untuk bahan pembentukan asetilkolin.
3.    Eksitasi-kontraksi Couplin
Merupakan mekanisme molekuler peristiwa kontraksi. Adanya impuls di neuron motorik menimbulkan ujung akson melepaskan asetilkolin dan menimbulkan potensial aksi di serat otot. Potensial aksi menyebar ke seluruh serat otot sampai ke sistem T. keadaan ini mempengaruhi reticulum sarkoplasma melepaskan ion kalsium yang kemudian diikat oleh troponin C, sehingga ikatan troponin I dengan aktin terlepas. Lepasnya ikatan troponin I dengan aktin menimbulkan tropomiosin bergeser dan terbukalah celah atau biding site aktin sehingga terjadi ikatan antara aktin dan myosin serta kontraksi otot terjadi.
2.4 Konsep Dasar Eliminasi Urine
2.4.1 Pengertian Eliminasi Urine
Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran cairan. Proses pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi urine seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra. Ginjal memindahkan air dari darah dalam bentuk urine. Ureter mengalirkan urine ke bladder. Dalam bladder urine ditampung sampai mencapai batas tertentu yang kemudian dikeluarkan melalui uretra.
2.4.2   Pola Eliminasi Urine Normal
Pola eliminasi urine sangat tergantung pada individu, biasanya miksi setelah bekerja, makan atau bangun tidur. Normalnya miksi dalam sehari sekitar 5 kali.
2.4.3   Karakteristik Urine Normal
Warna urine normal adalah kuning terang karena adanya pigmen urochrome. Namun demikian, warna urine tergantung pada intake cairan, keadaan dehidrasi, konsentrasinya menjadi lebih pekat dan kecoklatan, penggunaan obat – obat tertentu seperti multivitamin dan preparat besi maka urine akan berubah menjadi kemerahan sampai kehitaman.
Bau urine normal adalah bau khas amoniak yang merupakan hasil pemecagahan urea oleh bakteri. Pemberian pengobatan akan mempengarihi bau urine. Jumlah urine yang dikeluarkan tergantung pada usia, intake cairan, dan status kesehatan. pada orang dewasa sekitar 1200-1500 ml per hari atau 150-600 ml per sekali miksi.
2.4.4        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urine
1.      Pertumbuhan dan perkembangan
usia dan berat badan dapat mempengaruhi jumlah pengeluaran urine. Pada usia lanjut volume bladder berkurang, demikian juga wanita hamil sehingga frekuensi berkemih juga akan lebih sering.
2.      Sosiokultural
Budaya masyarakat dimana sebagian masyarakat hanya dapat miksi pada tempat tertutup dan sebaliknya ada masyarakat yang dapat miksi pada tempat tertutup dan sebaliknya ada masyarakat yang dapat miksi pada lokasi terbuka.
3.      Psikologis
Pada keadaan cemas dan stres akan meningkatkan stimulasi berkemih.
4.      Kebiasaan seseorang
Misalnya seseorang hanya bisa berkemih di toilet, sehingga ia tidak dapat berkemih dengan menggunakan pot urine.
5.      Tonus Otot
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot bladder, otot abdomen, dan pelvis untuk berkontraksi. Jika ada gangguan tonus, otot dorongan untuk berkemih akan berulang.
6.      intake cairan dan makanan
Alkohol menghambat Anti Diuretik Hormon (ADH) untuk meningkatkan pembuangan urine. Kopi, teh, coklat (mengandung kafein) dapat meningkatkan pembuangan dan ekskresi urine.
7.      Kondisi penyakit
Pada pasien yang demam akan terjadi penurunan produksi urine karena banyak cairan yang dikeluarkan melalui kulit. Peradangan dan iritasi organ kemih menimbulkan retensi urine.
8.      Pembedahan
Penggunaan anestesi menurunkan filtrasi glomerulus sehingga produksi urine akan menurun.
9.      Pengobatan
Penggunaan diuretik meningkatkan output urine, antikolinergik, dan antihipertensi menimbulkan retensi urine.
10.  Pemeriksaan diagnostik
Intravenus pyelogram dimana pasien dibatasi intake sebelum prosedur untuk mengurangi output urine. Cystocopy dapat menimbulkan edema lokal pada uretra, spasme pada spinter bladder sehingga dapat menimbulkan urine.
2.5      Konsep Dasar Cairan dan Elektrolit
2.5.1   Sistem yang Berperan dalam Kebutuhan Cairan dan Elektrolit
Menurut Alimul (2006) pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit dalam tubuh diatur oleh ginjal, kulit, paru dan gastrointestinal.
1.    Ginjal
Ginjal merupakan organ yang memiliki peran cukup besar dalam mengatur kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini terlihat pada fungsi ginjal, yaitu sebagai pengatur air, pengatur konsentrasi garam dalam darah, pengatur keseimbangan asam-basa darah, dan ekskresi bahan buangan atau kelebihan garam.
Rata-rata setiap satu liter darah mengandung 500 cc plasma yang mengalir melalui glomerulus, 10 persennya disaring keluar. Cairan yang tersaring kemudian mengalir melalui tubuli renalis yang sel-selnya menyerap semua bahan yang dibutuhkan. Jumlah urin yang diproduksi ginjal rata-rata 1 ml/kg/bb/jam.
2.         Kulit
Kulit merupakan bagian penting pengaturan cairan yang terkait dengan proses pengaturan panas. Proses ini diatur oleh pusat pengatur panas yang disarafi oleh vasomotorik dengan kemampuan mengendalikan arteriol kutan dengan cara vasodilatasi dan vasokontriksi. Pada proses pelepasan panas dapat dilakukan dengan cara penguapan. Jumlah keringat yang dikeluarkan tergantung pada banyaknya darah yang mengalir melalui pembuluh darah dalam kulit. Keringat merupakan sekresi aktif dari kelenjar keringat di bawah pengendalian saraf simpatis. Melalui kelenjar keringat ini suhu dapat diturunkan dengan jumlah air yang dapat dilepaskan, kurang lebih setengah liter sehari. Perangsangan kelenjar keringan yang dihasilkan dapat diperoleh melalui aktivitas otot, suhu lingkungan, dan kondisi suhu tubuh yang panas.
3.        Paru
Organ paru berperan mengeluarkan cairan dengan menghasilkan insensible water loss kurang lebih 400 ml/hari. Proses pengeluaran cairan terkait dengan respons akibat perubahan upaya kemampuan bernapas.
4.        Gastrointestinal
Gastrointestinal merupakan organ saluran pencernaan yang berperan dalam mengeluarkan cairan melalui proses penyerapan dan pengeluaran air. Dalam kondisi normal, cairan yang hilang dalam sistem ini sekitar 100 – 200 ml/hari.
2.5.2    Kebutuhan Cairan Tubuh Bagi Manusia
Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia secara fisiologis, yang memiliki proporsi besar dalam bagian tubuh, hampir 90% dari total berat badan tubuh. Sementara itu, sisanya merupakan bagian padat dari tubuh. Secara keseluruhan, kategori persentase cairan tubuh berdasarkan umur adalah: bayi baru lahir 75% dari total berat bada, pria dewasa 57% dari total berat badan, wanita dewasa 55% dari total berat badan, dan dewasa tua 45% dari total berat badan. Persentase cairan tubuh bervariasi, bergantung pada faktor usia, lemak dalam tubuh, dan jenis kelamin. Jika lemak tubuh sedikit, maka cairan dalam tubuh lebih besar. Wanita dewasa mempunyai jumlah cairan tubuh lebih sedikit dibanding pria karena pada wanita dewasa jumlah lemak dalam tubuh lebih banyak dibanding pada pria.
2.5.3   Pengaturan Volume Cairan Tubuh
Keseimbangan cairan dalam tubuh dihitung dari keseimbangan antara jumlah cairan yang masuk dan jumlah cairan yang keluar.
1.      Asupan cairan
Asupan cairan untuk kondisi normal pada orang dewasa adalah ± 2500 cc per hari. Asupan cairan dapat langsung berupa cairan atau ditambah dari makanan lain. Pengaturan mekanisme keseimbangan cairan ini menggunakan mekanisme haus. Pusat pengaturan rasa haus adalam hipotalamus. Apabila terjadi ketidakseimbangan volume cairan tubuh maka curah jantung menurun, menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah.
2.      Pengeluaran cairan
Pengeluaran cairan dalam kondisi normal adalah ±2300 cc. jumlah air yang paling banyak keluar berasal dari ekskresi ginjal (berupa urin), sebanyak ±1500 cc per hari pada orang dewasa. Pengeluaran cairan dapat pula dilakukan melalui kulit (keringat) dan saluran pencernaan (feses).


2.6         Konsep Dasar Infeksi
2.6.1   Pengertian Infeksi
Infeksi adalah suatu kondisi penyakit akibat masuknya kuman pathogen atau mikroorganisme lain ke dalam tubuh atau ke tubuh sehingga menimbulkan gejala tertentu. Apabila pada suatu jaringan terdapat jejas akibat trauma, bakteri, panas, ataupun bahan kimia, pada jaringan tersebut akan terjadi perubahan sekunder yang disebut peradangan. Kondisi ini ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah local, peningkatan permeabilits kapiler, pembekuan cairan dalam ruang interstisial, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembekakakn sel (Mubarak, 2008).
2.6.2   Tanda-tanda Infeksi
Menurut Mubarak (2008), tanda-tanda infeksi secara klinis dapat dilihat pada respons klien, baik lokal maupun sitemik. Tanda infeksi lokal meliputi:
1.         Rubor atau kemerahan, biasanya merupakan tanda yang pertama terlihat pada daerah yang mengalami infeksi.
2.         Kalor atau panas, merupakan sifat dari reaksi infeksi yang hanya terjadi pada permukaan tubuh.
3.         Dolor atau rasa sakit/nyeri, ini terjadi akibat perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu yang dapat merangsang ujung-ujung saraf.
4.         Tumor atau bengkak, disebabkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial.
5.         Fungsio laesa atau perubahan fungsi/keterbatasan anggota gerak.
Sedangkan tanda infeksi sistemik meliputi demam, malaise, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, dan diare.
2.6.3        Proses Klinis Infeksi
Menurut Mubarak (2008) proses klinis terjadinya infeksi ditentukan oleh enam link yang membentuk rantai infeksi. Link tersebut meliputi agens infeksius (mikroorganisme), sumber infeksi (reservoir), pintu keluar, metode penyebaran, pintu masuk, dan hospes yang rentan.
1.        Agens infeksius (mikroorganisme)
Kemampuan mikroorganisme untuk menimbulkan proses infeksi bergantung pada jumlah mikroorganisme yang masuk, virulensi dan potensi mikroorganisme, kemampuan mikroorganisme memasuki tubuh, kerentanan hospes, dan kemampuan miroorganisme memasuki tubuh, kerentanan hospes, dan kemampuan mikroorganisme untuk hidup di dalam hospes.
2.        Reservoir
Banyak hal yang bisa menjadi reservoir atau sumber mikroorganisme, di antaranya adalah manusia, tanaman, hewan, lingkungan, dan mikroorganisme klien sendiri. Pada tubuh manusia, mikroorganisme paling banyak ditemukan di kulit, salurang pencernaan, mulut, alat kelamin, kolon, dan uretra bagian bawah. Sedangkan di lingkungan, mikroorganisme dapat berasal dari makanan, air, feses, atau objek tertentu.
3.        Pintu keluar
Sebelum menyebabkan infeksi pada tubuh hospes, mikroorganisme terlebih dahulu harus meninggalkan reservoir.
4.        Metode penyebaran
Setelah meninggalkan reservoir, mikroorganisme memerlukan sarana untuk masuk ke dalam tubuh hospes melalui pintu masuk. Secara umum, ada tiga mekanisme penyebaran, yaitu:
a.       Penyebaran langsung
Perpindahan mikroorganisme secara langsung dan segera dari satu individu ke individu lain melalui sentuhan, gigitan, ciuman, hubungan seksual, atau bisa pula melalui percikan ludah (droplet) pada jarak kurang dari tiga kaki.
b.      Penyebaran tak langsung
Perpindahan mikroorganisme dengan bantuan media atau vektor.
1)      Penyebaran melalui media
Media disini adalah setiap substansi atau benda yang dapat menjadi perantara masuknya mikroorganisme ke dalam hospes yang rentan. Media tersebut dapat berupa mainan, pakaian kotor, peralatan masak, peralatan bedah, makanan, air, darah. Selain itu penyebaran juga bisa terjadi dengan bantuan manusia, seperti tenaga perawat, dokter, ahli terapi.


2)      Penyebaran melalui vektor
Vektor adalah hewan atau serangga yang bertindak sebagai perantara penyebaran agens infeksi. Penyebaran mikroorganisme dapat berlangsung melalui saliva atau materi feses.
c.       Transmisi udara.
Penyebaran mikroorganisme dapat berlangsung melalui droplet atau debu yang kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pintu masuk yang sesuai, biasanya salurang pernapasan.
d.   Pintu masuk
Infeksi dapat terjadi setelah mikroorganisme berhasil masuk ke dalam tubuh hospes. Biasanya, mikroorganisme masuk ke dalam tubuh hospes malalui rute yang sama seperti saat keluar dari reservoir.
e.    Hospes yang rentan
Hospes yang rentan adalah setiap individu yang beresiko mengalami infeksi. Tingkat resistensi individu terhadap kumat pathogen yang masuk dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu stress yang berkepanjangan, status nutrisi yang buruk, kelelahan, usia yang terlalu muda atau sangat tua, penyakit kronis, pengobatan yang menekan produksi sel darah putih.
2.6.4   Faktor yang Meningkatkan Kerentanan Terhadap Infeksi
Menurut Mubarak (2008) faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi adalah :

1.         Usia
Bayi lahir dan lansia memiliki pertahanan tubuh rendah terhadap infeksi. Bayi baru lahir memiliki sistem imun yang imatur dan hanya dilindungi oleh immunoglobulin pasif (IgG) yang diperoleh dari ibu pada 2 – 3 bulan pertama kehidupannya. Sedangkan lansia mengalami perlemahan sistem imun akibat proses penuaan.
2.        Hereditas
Pada sebagian orang, faktor hereditas berpengaruh terhadap perkembangan infeksi. Kelainan bawaan berupa rendahnya immunoglobulin serum menyebabkan seseorang rentan terhadap jenis infeksi tertentu.
3.        Status imunisasi
Lengkap tidaknya status imunisasi seseorang berpengaruh terhadap perkembangan infeksi.
4.        Terapi yang dijalani
Sejumlah terapi medis dapat menyebabkan infeksi pada pasien. Sebagai contoh, terapi radiasi atau kemoterapi tidak hanya bekerja menghancurkan sel kanker, tetapi juga sel yang normal. Akibatnya individu semakin rentan terhadap infeksi.
5.        Status nutrisi
Kekebalan tubuh terhadap infeksi bergantung pada status nutrisi yang baik. Karena antibodi merupakan protein, maka status nutrisi yang buruk dapat mengganggu kemampuan tubuh menyintesis antibodi.

6.        Kelelahan
Kondisi lelah dapat menurunkan daya tahan tubuh. Akibatnya, individu akan semakin rentan terhadap infeksi.
7.        Stress
Kondisi stress menyebabkan peningkatan kadar kortison dalam darah. Peningkatan kortison dalam waktu lama dapat menyebabkan penurunan respons anti-inflamasi, kelelahan, dan penurunan daya tahan tubuh.
2.6.5   Tahapan Proses Infeksi
Tahapan proses infeksi menurut Mubarak (2008) yaitu:
1.        Periode inkubasi
Periode sejak masuknya kuman ke dalam tubuh sampai dengan munculnya gejala. Lamanya waktu yang dibutuhkan sampai gejala muncul bervariasi, bergantung pada penyakitnya.
2.        Periode prodromal
Periode sejak muncul gejala umum sampai munculnya gejala spesifik. Pada masa ini, individu sangat infeksius, yaitu mudah menularkan atau menyebarkan kuman kepada orang lain.
3.        Periode sakit
Pada periode ini, gejala spesifik terus berkembang dan menimbulkan menifestasi pada organ yang terinfeksi dan seluruh tubuh. Lamanya waktu yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi individu dan patogenitas kuman.
4.        Periode konvalensi
Periode ini berlangsung sejak menurunnya gejala sampai individu kembali sehat. Lamanya waktu yang dibutuhkan bergantung pada jenis penyakit dan kondisi individu.
2.7      Konsep Dasar Psikososial
2.7.1        Konsep Diri
Konsep diri adalah semua perasaan, kepercayaan, dan nilai yang diketahui indivdu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secra bertahap saat bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain.
Pembentukan konsep diri ini sangat dipengaruhi oleh asuhan orang tua dan lingkungannya.
2.7.2        Komponen Konsep Diri
1.      Citra tubuh
Citra tubuh adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan tubuh saat ini dan masa lalu
2.      Ideal diri
Persepsi individu terhadap bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar perilaku. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi
3.      Harga diri
Harga diri adalah penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis, sejauh mana perilaku memenuhi ideal diri. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga dirinya akan tinggi dan jika mengalami gagal cenderung harga diri menjadi rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain
4.      Peran diri
Peran diri adalah pola sikap, perilaku nilai yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat
5.      Identitas diri
Identitas diri adalah kesadaran akan dirinya sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh.
2.8      Konsep Dasar Ansietas
2.8.1        Pengertian Ansietas
Ansietas merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan sesuatu diluar  dirinya dan mekanisme diri yang digunakan dalam mengatasi permasalahan. Ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai asal ansietas.
2.8.2        Teori Ansietas
1.        Teori psikoanalisis
Dalam pandangan psikoanalisis, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id memiliki dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen tersebut, dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

2.        Teori interpersonal
Dalam pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut terhadap penolakan saat berhubungan dengan orang lain. Hal ini juga dihubungkan dengan trauma pada masa pertumbuhan, seperti kehilangan dan perpisahan dengan orang yang dicintai. Penolakan terhadap eksistensi dari oleh orang lain ataupun masyarakat akan menyebabkan individu yang bersangkutan menjadi cemas. Namun bila keberadaannya diterima oleh orang lain, maka ia akan merasa tenang dan tidak cemas. Dengan demikian, ansietas berkaitan dengan hubungan antara manusia.
3.        Teori perilaku
Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan hasil frustasi. Ketidakmampuan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan yang diinginkan akan menimbulkan frustasi atau keputusasaan. Keputusasaan inilah yang menyebabkan seseorang menjadi ansietas.
Faktor pencetus ansietas
Faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor intenal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Namun demikian pencetus ansietas dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu :
a.       Ancaman terhadap  integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari guna pemenuhan terhadap kebutuhan dirinya
b.    Ancaman terhadap sisitem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mngancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/ peran diri dan hubungan interpersonal.
2.9      Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan adalah suatu sistem dalam merencanakan pelayanan asuhan keperawatan yang mempunyai lima tahapan. Tahapan yaitu pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Proses pemecahan masalah yang sistematik dalam memberikan pelayanan keperawatan serta dapat menghasilkan rencana keperawatan yang menerangkan kebutuhan setiap klien seperti yang tersebut diatas yaitu melakukan empat tahap keperawatan.
2.9.1  Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien ( Lyer et al, 1996 ). Data yang dikumpulkan dalam pengkajian ini meliputi bio – psiko – sosio – spiritual. Dalam proses pengkajian ada 2 tahap yang perlu dilalui yaitu pengumpulan data dan analisa data.
1.        Pengumpulan Data
Pada tahap ini merupakan kegiatan dalam menghimpun informasi ( data –data ) dari klien yang meliputi unsure bio – psiko – spiritual yang komprehensif secara lengkap dan relevan untuk mengenal klien agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan.
a.      Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku atau bangsa, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggan masuk rumah sakit, tanggal pengkajian. Penyakit BPH terjadi pada pria usia diatas 50 tahun.
b.        Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh nyeri pada saat miksi, BAK berulang-ulang (anyang-anyangan), terbangun untuk miksi pada malam hari, perasaan ingin miksi yang sangat mendesak, jika mau miksi harus menunggu lama, harus mengedan, kencing terputus-putus.
c.         Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien pernah menderita BPH sebelumnya dan apakah pasien pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.
d.        Riwayat penyakit keluarga
Mungkin diantara keluarga pasien sebelumnya ada yang menderita penyakit yang sama dengan penyakit pasien sekarang.
e.         Pemeriksaan fisik
1.   Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Keadaan umum klien mengalami tanda-tanda penurunan mental seperti neuropati perifer. Tanda vital tekanan darah mengalami peningkatan.
2.   Pemeriksaan kepala dan muka
Pada pemeriksaan kepala bentuk simetris, kulit kepala bersih, tidak ada lesi, rambut tumbuh merata,beruban.
Pada pemeriksaan muka tidak ditemukan muka anemis, ekspresi wajah menyeringai karena nyeri.
3.   Pemeriksaan mata
Pada pemeriksaan mata bentuk simetris, konjungtiva merah muda, sklera tidak ikterus, fungsi penglihatan berkurang,
4.   Pemeriksaan hidung
Lubang hidung simetris, tidak ada sekret, penciuman baik.
5.   Pemeriksaan telinga
Bentuk telinga simetris, tidak ada perdarahan, ada sedikit serumen.
6.   Pemeriksaan mulut dan faring
Pada pemeriksaan mulut dan faring tidak ditemukan cyanosis dan pembesaran tonsil.
7.   Pemeriksaan leher
Tidak ada pembesaaran kelenjar tyroid, tidak ada pembesaran vena jugularis.
8.   Pemeriksaan payudara dan ketiak
Tidak ada gangguan pada pemeriksaan payudara dan ketiak.
9.   Pemeriksaan thorak
Inspeksi : bentuk dada normal, tidak ada tarikan intercostae.
Palpasi : tarikan dada kanan dan kiri simetris.
Perkusi : sonor.
Auskultasi : suara vesikuler, tidak ada suara tambahan, frekuensi pernapasan 20x/menit.
10. Pemeriksaan jantung
Inspeksi: tidak ada iktus kordis.
Palpasi : tidak teraba iktus kordis.
Perkusi : tidak ada pembesaran jantung.
Auskultasi : suara bunyi jantung 1 dan 2 terdengar jelas dan tunggal.
11.    Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : bentuk datar, tidak ada benjolan, terdapat luka jahitan bekas operasi pada atas simpisis dengan panjang ± 6-7 cm. Daerah sekitar luka lembab, disisi kanan luka operasi terdapat drainase, tidak ada tanda infeksi.
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada daerah luka operasi, tidak ada massa.
Perkusi : suara tympani.
Auskultasi : suara bising usus 8x/menit.
Pembagian abdomen menjadi sembilan regio adalah sebagai berikut :




Hipokondria kanan:
Hepar
Epigastrium :
Gaster, hepar, kolon tranversum
Hipokondria kiri:
Kolon tranversum, kolon desenden
Lumbalis kanan :
Kolon asenden
Umbilikalis :
Umbilikus dan usus halus
Lumbalis kiri :
Kolon desenden
Inguinalis kanan :
Sekum (umbai cacing & apendiks), ovarium kanan
Hipogastrium :
Kandung kemih
(bladder atau vesica urinaria)
Inguinalis kiri :
Kolon sigmoid, ovarium kiri
1.   Pemeriksaan integumen
Pada pemeriksaan integumen ditemukan kulit bersih, warna kulit sawo matang, tidak ada tanda dekubitus pada daerah yang tertekan.
2.   Pemeriksaan anggota gerak/ekstremitas
Tidak ditemukan gangguan pada pemeriksaan anggota gerak, pergerakan aktif, tidak ada oedem, kekuatan otot baik tidak ada kelemahan.
3.   Pemeriksaan genetalia dan anus
Terpasang kateter pada genetalia, warna urine kuning agak kecoklatan. Produksi urine biasanya 2000 cc/24 jam.
4.   Pemeriksaan status neurologis
Pada pemeriksaan status neurologis tidak ditemukan letargi (penurunan kesadaran), tremor, kemungkinan terjadi penurunan mental.
2.        Analisa Data
Dari hasil pengakajian kemudian data tersebut dikelompokkan lalu dianalisa sehingga dapat ditarik kesimpulan masalah yang timbul dan untuk selanjutnya dapat dirumuskan diagnosa keperawatan.
2.9.2        Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien prostatektomy menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler (2000) adalah :
1.        Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi sekunder bekuan darah.
2.        Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan, spasme otot karena prosedur pembedahan.
3.        Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : tindakan pembedahan.
4.        Risiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis: status kesehatan, prosedur pembedahan.
5.        Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
6.        Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan dampak nyeri akibat luka post operasi.
2.9.3        Perencanaan
1.        Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi sekunder bekuan darah.
Tujuan : klien dapat berkemih tanpa disertai retensi setelah dilakukan tindakan.
Kriteria hasil : menunjukkan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung kemih, berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
Intervensi :
1.         Kaji haluaran urine dan sistem kateter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih.
R/ retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah, dan spasme kandung kemih.
2.         Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih, contoh berdiri, berjalan ke kamar mandi, dengan frekuensi sering setelah kateter dilepas.
R/ mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas.        
3.         Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih: ketidakmampuan berkemih, urgensi.
R/ kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
4.         Dorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per catatan pemeriksaan.
R/ berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine. Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang kandung kemih.
5.         Ukur volume residu bila ada keteter suprapubik.
Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih. Residu lebih dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus kandung kemih membaik.
6.         Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi. Batasi cairan pada malam hari, setelah kateter dilepas.
Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine. Penjadwalan masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
7.         Instruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine.
R/ membantu meningkatkan kontrol kandung kemih/sfringter/urine, meminimalkan inkintinensia.
8.         Anjurkan pasien bahwa “penetesan” diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi sesuai kemajuan.
R/ informasi membantu pasien untuk menerima masalah. Fungsi normal dapat kembali dalam 2-3 minggu tetapi memerlukan sampai 8 bulan setelah pendekatan perineal.
2.        Diagnosa 2
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan, spasme otot karena prosedur pembedahan.
Tujuan : pasien merasa nyaman setelah dilakukan tindakan.
Kriteria hasil : melaporkan nyeri hilang/terkontrol, tampak rileks, tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi :
1.        Kaji tingkat nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10).
R/ nyeri tajam, intermiten dengan dorongan berkemih/pasase urine sekitar kateter menunjukkan spasme kandung kemih yang cenderung lebih berat pada pendekatan suprapubik (biasanya menurun setelah 48 jam)
2.        Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
R/ mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan risiko distensi/spasme kandung kemih.
3.        Tingkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi.
R/ menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan konstan ke mukosa kandung kemih.
4.        Berikan pasien informasi akurat tentang kateter, drainase, dan spasme kandung kemih.
R/ Menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerja sama dengan prosedur tertentu.
5.        Berikan tindakan kenyamanan (sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung) dan aktivitas perapeutik. Dorong penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan napas dalam, visualisasi, pedomam imajinasi.
R/ Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan koping.
6.        Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
R/ meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema, dan penyembuhan.
7.        Observasi tanda-tanda vital.
R/ Mengetahui bila ada kelainan yang dirasakan oleh klien sejak dini.
8.        Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik.
.R/ Analgesik berfungsi untuk menekan rasa nyeri.
3.        Diagnosa 3
Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : tindakan pembedahan.
Tujuan : tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan.
Kriteria hasil : tidak mengalami tanda infeksi, mencapai waktu penyembuhan.
Intervensi : 
1.      Pertahankan sistem kateter steril ; berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep antibiotik di sekitar sisi kateter.
R/ mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/sepsis lanjut.
2.      Ambulasi dengan kantung drainase dependen
R/ menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke dalam kandung kemih.
3.      Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka, disorientasi.
R/ pasien yang mengalami sitoskopi dan/atau TUR prostat berisiko untuk syok bedah/septik sehubungan dengan manipulasi/instrumentasi.
4.      Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik.
R/ adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan risiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.
5.      Observasi terjadinya tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsio laesa)
R/ munculnya salah satu atau semua tanda infeksi merupakan indikasi kuat terjadinya infeksi.
6.      Lakukan rawat luka dengan teknik aseptik.
R/ aseptik merupakan tindakan perawat secara steril dalam merawat luka.
7.      Kurangi faktor infeksi nosokomial dengan memasang gurita.
R/ gurita mampu memberikan rasa nyaman dan melindungi luka operasi dari faktor infeksi.
8.      Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian antibiotik.
R/ Mencegah terjadinya infeksi yang lebih luas.
9.      Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diit TKTP.
R/ diit TKTP mampu memberikan nutrisi yang adekuat pada luka dalam proses penyembuhan.
4.        Diagnosa 4
Risiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis: status kesehatan, prosedur pembedahan.
Tujuan : fungsi seksual dapat dipertahankan setelah dilakukan tindakan.
Kriteria hasil : tampak rileks, dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat diatasi, menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah.
Intervensi :                                                                
1.      Berikan keterbukaan pada pasien/orang terdekat untuk membicarakan tentang masalah funsi seksual.
R/ dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan dpat menyembunyikan pertanyaan yang diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi yang dinerikan sebelumnya.
2.      Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
R / impotensi fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur radikal; pada pendekatan lain aktivitas seksual dapat dilakukan seperti biasa dalam 6-8 minggu.
3.      Diskusikan dasar anatomi. Jujur dalam menjawab pertanyaan pasien.
R/ prosedur bedah mungkin tidak memberikan pengobatan permanen, dan hipertrofi dapat berulang.
4.      Diskusikan ejakulasi retrograd bila pendekatan transuretral/suprapubik digunakan.
R/ cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan di sekresikan melalui urine. Ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine keruh.
5.      Instruksikan latihan perineal dan interupsi/kontinu aliran urine.
R/ meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urinaria dan fungsi seksual.
5.        Diagnosa 5
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat menguraikan perawatan pasien pasca prostatektomi.
Krieria hasil : menyatakan pemahaman prosedur bedah dan pengobatan, melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :                                       
1.      Kaji implikasi prosedur dan harapan masa depan.
R/ memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
2.      Tekankan perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah, meningkatkan diet tinggi serat.
R/ meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi, menurunkan risiko perdarahan pascaoperasi.
3.      Diskusikan pembatasan awal, contoh menghindari mengangkat berat, latihan keras, duduk/mengendarai mobil terlalu lama, memanjat.
R/ peningkatan tekanan abdominal/meregangkan yang menempatkan stres pada kandung kemih dan prostat, menimbulkan risiko perdarahan
4.      Dorong kesinambungan latihan perineal.
R/ Membantu kontrol urinaria dan menghilangkan inkontinensia.
5.      Instruksikan perawatan kateter urine bila ada. Identifikasi alat/dukungan.
R/ meningkatkan kemandirian dan kompetensi dalam perawatan diri.
6.      Kaji ulang tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik contoh eritema, drainase purulen dari luka ; perubahan dari karakter/jumlah urine, adanya dorongan/frekuensi; perdarhan berat, demam/menggigil.
R/ intervensi cepat dapat mencegah komplikasi serius.
6.        Diagnosa 6
Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan dampak nyeri akibat luka post operasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam klien dapat beraktivitas secara mandiri untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
Kriteria Hasil : 
-     Klien dapat duduk tanpa bantuan keluarga.
-     Klien mampu berdiri.
-     Klien mampu untuk makan, minum tanpa bantuan keluarga.
-     Klien mampu berjalan di sekitar ruangan
Intervensi :
1. Kaji tingkat keterbatasan klien dalam beraktivitas.
R/ Mengetahui keterbatasan klien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
2. Beri dorongan pada klien untuk latihan gerak.
R/ Dengan motivasi, klien agar tidak pasif di tempat tidur, guna membantu proses penyembuhan.
3. Bantu klien dalam latihan gerak.
R/ Dengan latihan aktivitas ringan dapat mengurangi kekakuan otot
4.      Libatkan keluarga untuk melatih klien secara teratur.
R / Dengan latihan ringan secara teratur dan mandiri dapat membantu proses penyembuhan
2.9.4        Pelaksanaan
Pelaksanaan rencana keperawatan adalah kegiatan atau tindakan yang diberikan kepada klien sesuai dengan rencana keperawatan yang telah diterapkan tergantung pada situasi dan kondisi klien saat itu.
Pada diagnosa gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi sekunder bekuan darah dilakukan tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien dengan intervensi mengkaji haluaran urine dan sistem kateter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih, membantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih contoh berdiri, berjalan ke kamar mandi, memperhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas, mendorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per catatan pemeriksaan, mengukur volume residu bila ada keteter suprapubik, mendorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, menginstruksikan pasien untuk latihan perineal, menganjurkan pasien bahwa “penetesan” diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi sesuai kemajuan.
Pada diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan, spasme otot karena prosedur pembedahan dilakukan tindakan sesuai keadaan pasien dengan intervensi mengkaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), mempertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan, meningkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi, memerikan pasien informasi akurat tentang kateter, drainase, dan spasme kandung kemih, memberikan tindakan kenyamanan (sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung) dan aktivitas perapeutik, memberikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan, Observasi tanda-tanda vital, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik.
Pada diagnosa risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif tindakan pembedahan setelah dilakukan tindakan sesuai keadaan pasien dengan intervensi mempertahankan sistem kateter steril ; berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep antibiotik di sekitar sisi kateter, mengambulasi dengan kantung drainase dependen, mengawasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka, disorientasi, observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik, observasi tanda-tanda terjadinya infeksi (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolaesa), lakukan rawat luka dengan teknik aseptik, kurangi faktor infeksi nosokomial dengan memasangkan gurita, kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian antibiotik, dan dengan tim gizi dalam pemberian diit TKTP.
Pada diagnosa risiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis: status kesehatan, prosedur pembedahan setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien dengan intervensi memberikan keterbukaan pada pasien/orang terdekat untuk membicarakan tentang masalah funsi seksual, memberikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual, mendiskusikan dasar anatomi, mendiskusikan ejakulasi retrograd bila pendekatan transuretral/suprapubik digunakan, menginstruksikan latihan perineal dan interupsi/kontinu aliran urine.
Pada diagnosa kurangnya pengetahuan tentang kondisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien dengan intervensi mengkaji implikasi prosedur dan harapan masa depan, menekankan perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah, meningkatkan diet tinggi serat, mendiskusikan pembatasan awal, contoh menghindari mengangkat berat, latihan keras, duduk/mengendarai mobil terlalu lama, memanjat, mendorong kesinambungan latihan perineal, menginstruksikan perawatan kateter urine bila ada. Identifikasi alat/dukungan, mengkaji ulang tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik contoh eritema, drainase purulen dari luka perubahan dari karakter/jumlah urine, adanya dorongan/frekuensi perdarahan berat, demam/menggigil.
Pada diagnosa gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan dampak nyeri akibat luka post operasi setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien dengan intervensi mengkaji tingkat keterbatasan klien dalam beraktivitas, beri dorongan pada klien untuk latihan gerak, bantu klien dalam latihan gerak, libatkan keluarga untuk melatih klien secara teratur
2.9.5        Evaluasi
Dilaksanakan suatu penelitian terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan atau dilaksanakan dengan berpegang teguh pada tujuan yang ingin dicapai. Pada bagian ini ditentukan apakah perencanaan sudah tercapai atau belum, dapat juga timbul masalah baru. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan  gangguan eliminasi urine dapat terpenuhi, gangguan rasa nyaman nyeri berkurang, risiko tinggi terhadap infeksi terhindari, fungsi seksual dapat dipertahankan, kurangnya pengetahuan tentang kebutuhan pengobatan dapat teratasi, dan kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi secara mandiri.




3 komentar:

  1. kak maaf untuk hasil prevalensi BPH dalam Riskesdas 2013 ada dihalaman berapa ya kak

    BalasHapus
  2. kak mau nanya, untuk mencari data WHO bagaimana ya kak? soalnya saya nyari kog susah sekali. salam yuliantin r dari kampus akper ngawi

    BalasHapus
  3. Lucky Club - Live Dealer Casino Site
    Lucky Club is a live dealer casino & mobile casino. Play slots, table luckyclub games and live dealer casino games for real money or free. Sign up and register now!

    BalasHapus