ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS BPH
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Penting bagi kita untuk mengetahui penyakit Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH), karena hampir setiap 50% pria diatas 60 tahun
mengalami hiperplasia prostat, atau yang disebut dengan pembesaran pada
kelenjar prostat. Salah satu tanda dan gejala pada penyakit BPH ini adalah sulit
untuk Buang Air Kecil (BAK). Penyakit BPH ini belum diketahui secara pasti,
namun kemungkinan berhubungan dengan ketidakseimbangan antara hormon estrogen
dan progesteron di dalam prostat. (Elizabeth, 2009). Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH) menurut Marilyn (2000) merupakan pembesaran progresif pada
kelenjar prostat yang terjadi pada pria berusia diatas 50 tahun, menyebabkan
derajat obstruktif uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Rudi, 2012). Oleh
karena itu sebagai tenaga kesehatan perawat mempunyai peran yang penting dalam
pencegahan dan pengobatan pasien BPH.
Menurut data WHO (2013), memperkirakan terdapat
sekitar 70 juta kasus degeneratif. Salah satunya adalah BPH, dengan insidensi
di negara maju sebanyak 19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5,35%
kasus. Yang ditemukan pada pria dengan usia lebih dari 65 tahun dan dilakukan
pembedahan setiap tahunnya. Tingginya kejadian BPH di Indonesia telah
menempatkan BPH sebagai penyebab angka kesakitan nomor 2 terbanyak setelah
penyakit batu pada saluran kemih. Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9,2 juta
kasus BPH, diantaranya diderita pada pria berusia di atas 60 tahun. Di Jawa
Timur tepat 672.502 kasus BPH pada tahun 2013. Di Ngawi
jumlah klien yang ada di ruang bedah pada tahun 2013 sebanyak 70 kasus. Pada
tahun 2014 sebanyak 45 kasus BPH (Riskesdas, 2013).
Menurut Mansjoer Arif (2000) umumnya
pembesaran prostat terjadi setelah usia pertengahan akibat proses penuaan dan
perubahan hormonal. Jika penyakit BPH ini tidak segera di tangani maka akan
mengalami pembesaran secara perlahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal
terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang
mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor
mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat detrusor akan
menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli
akan terlihat seperti balok. Penonjolan serat detrusor yang terlihat seperti
balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan
sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar diantara serat detrusor sehngga
terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar
disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila
berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi, dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine yang akan
berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Rudi, 2012).
Pencegahan penyakit BPH itu sendiri dapat diterapkan
dengan membudidayakan pola hidup sehat seperti mengkonsumsi buah yang
mengandung antioksidan, makanan rendah lemak dan kaya serat, olahraga teratur
serta melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Tidak semua pasien yang
mengalami hiperplasia prostat harus menjalani operasi atau tindakan medik.
Terkadang merekan hanya mengeluh (Lower Urinary Tract Symptoms) atau LUTS
ringan, namun dapat sembuh sendiri tanpa terapi. Tetapi jika keadaan klien
tersebut sudah parah maka harus segera dilakukan tindakan medikamentosa,
pembedahan, atau tindakan endroulogi. Sebagai perawat dalam memberikan Asuhan
Keperawatan pada pasien BPH dalam upaya kuratif yaitu memberikan obat sesuai
dengan petunjuk, pemberian antikolinergik bertujuan untuk mengurangi spasme
kandung kemih serta pemberian cairan infus dan cairan oral untuk pengeluaran
urine. Sedangkan dalam upaya rehabilitatif diperlukan agar klien mampu
memelihara kesehatannya sendiri dan mampu beraktivitas kembali dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari seperti gangguan eliminasi dengan cara pemantauan dalam
pemasangan kateter, perawatan kateter menggunakan teknik aseptik, dan mencegah
distensi kandung kemih yang menyebabkan perdarahan. Sangat diperlukan peran
serta keluarga dalam pemberian asuhan keperawatan klien dengan post
prostatektomy baik di rumah sakit maupun di rumah karena ini merupakan peran
perawat sebagai edukator (Nursalam & Fransisca, 2006).
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mengetahui lebih lanjut dari perawatan penyakit ini maka penulis
akan melakukan kajian lebih lanjut dengan malakukan Asuhan
Keperawatan BPH dengan
membuat rumusan masalah sebagai berikut “ Bagaimanakah Asuhan Keperawatan
pada klien dengan diagnose post-op BPH di Ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi “?
1.3 Tujuan
Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Mahasiswa
mampu mengidentifikasi asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa post-op
BPH di Ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi
Tahun 2015.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Mengkaji
klien dengan diagnosa post-op di ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi Tahun 2015.
2. Merumuskan
diagnosa keperawatan pada klien dengan diagnosa post-op BPH di ruang Bedah RSUD.
Dr. SOEROTO Ngawi Tahun 2015.
3. Merencanakan
asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa post-op BPH di ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi
Tahun 2015.
4. Melaksanakan
asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa post-op BPH di ruang Bedah RSUD. Dr. SOEROTO Ngawi Tahun 2015.
5. Mengevaluasi
klien dengan diagnosa post-op BPH di ruang Bedah RSUD Dr. SOEROTO Ngawi Tahun
2015.
6. Mendokumentasikan
asuhan keperawatan klien dengan diagnosa post-op BPH di ruang Bedah RSUD. Dr.
SOEROTO Ngawi Tahun 2015.
1.4 Manfaat
Terkait dengan
tujuan, maka tugas akhir ini diharapkan dapat memberi manfaat :
1.
Akademis,
hasil studi kasus ini merupakan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam
hal asuhan keperawatan pada klien BPH.
2.
Secara
praktis, tugas akhir ini akan bermanfaat bagi :
a.
Pelayanan
keperawatan di Rumah Sakit
Hasil studi kasus ini, dapat
menjadi masukan bagi pelayanan di Rumah Sakit agar dapat melakukan asuhan
keperawatan klien post-op BPH dengan baik.
b. Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menjadi
salah satu rujukan bagi peneliti berikutnya, yang akan melakukan studi kasus
pada asuhan keperawatan pada klien post-op BPH.
c. Profesi
kesehatan
Sebagai tambahan ilmu bagi profesi
keperawatan dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang asuhan keperawatan
pada klien post-op BPH.
1.5 Metode Penulisan
1. Metode
Metode
deskriptif yaitu suatu metode yang mengungkapkan peristiwa atau gejala yang terjadi
pada waktu sekarang meliputi metode penulisan, teknik pengumpulan data, sumber
data, studi kepustakaan yang mempelajari, mengumpulkan, membahas dan dengan
studi pendekatan proses keperawatan dengan langkah – langkah pengkajian,
diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara atau interviu merupakan metode
pengumpulan data secara langsung yang dilakukan oleh perawat terhadap klien.
Disini, perawat akan (pewawancara) memperoleh data secara langsung dari klien
serta mendapatkan respons langsung dari klien melalui tatap muka dan pertanyaan
yang diajukan. Data wawancara merupakan semua ungkapan atau penyataan klien,
tenaga kesehatan, atau orang lain yang berkepentingan termasuk keluarga, teman,
dan orang terdekat klien (Asmadi,2008).
b. Observasi
Merupakan metode pengumpulan data dengan pengamatan
visual melalui panca-indra. Kemampuan dalam melakukan observasi memerlukan
banyak latihan dan ketrampilan tingkat tinggi. Unsur terpenting dalam observasi
adalah mempertahankan objektifitas penilaian. Mencatat hasil observasi secara
khusus tentang apa yang dilihat, dirasa, didengar, dicium, dan dikecap akan
lebih akurat dibandingkan mencatat interpretasi seseorang tentang hal tersebut
(Asmadi,2008).
c. Pemeriksaan
Pemeriksaan menurut Carol V.A. (1991) adalah
proses inspeksi sistem tubuh manusia untuk menentukan ada tidaknya suatu
penyakit melalui hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium. Cara pendekatan
sistematis yang dapat digunakan oleh perawa adalah pemeriksaan fisik dari ujung
rambut hingga ujung kaki (head to toe)
dan pendekatan berdasarkan sistem tubuh (review
of system). Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan emapt metode,
yakni inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Keempat metode tersebut
hendaknya dilakukan secara berurutan (Asmadi, 2008).
3. Sumber Data
a. Data Primer
Data
Primer adalah data yang didapatkan dari klien untuk menggali informasi mengenai
masalah kesehatan klien (Setiadi,2012).
b. Data Sekunder
Data
Sekunder adalah data atau informasi yang didapat dari orang tua, suami atau
istri, teman klien atau orang terdekat klien (Setiadi,2012).
c. Data Tersier
Data
yang diperoleh dari catatan klien, riwayat penyakit klien, konsultasi, hasil
pemeriksaan diagnostik, catatan medis dari anggota tim kesehatan lain, perawat
lain, kepustakaan (Setiadi,2012).
4. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan yaitu mempelajari buku
sumber yang berhubungan dengan judul studi kasus dan masalah yang dibahas.
1.6 Sistematika Penulisan
Supaya lebih
jelas dan lebih mudah dalam mempelajari dan memahami studi kasus ini, secara
keseluruhan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1.
Bagian
awal, memuat halaman judul, persetujuan komisi pembimbing, pengesahan, kata pengantar dan daftar isi.
2. Bagian
inti, terdiri dari lima bab, yang masing – masing bab terdiri dari sub bab
berikut :
BAB 1 : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, tujuan,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan studi kasus.
BAB
2 : Tinjauan Pustaka, berisi tentang
konsep penyakit dari sudut medis dan asuhan keperawatan klien dengan diagnosa
morbili, serta kerangka masalah.
BAB
3 : Tinjauan Kasus, berisi tentang diskripsi data hasil
pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
BAB
4 : Pembahasan, berisi tentang
perbandingan antara teori dengan kenyataan yang ada dilapangan.
BAB 5 :
Penutup, berisi tentang simpulan dan saran.
3. Bagian
akhir, terdiri dari daftar pustaka dan lampiran.
BAB
2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam
bab 2 ini akan diuraikan secara teoritis mengenai konsep penyakit dan asuhan
keperawatan pasien BPH. Komsep
penyakit yang akan diuraikan definisi, etiologi dan cara penanganan secara
medis. Asuhan keperawatan akan diuraikan masalah – masalah yang muncul pada
penyakit BPH
dengan melakukan asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1
Pengertian
BPH
Benigna
Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat,
bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat
yang mengakibatkan penyumbatan uretra prostatika (Muttaqin & Sari, 2011).
BPH
(Benigna Prostat Hyperplasi) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (Rendy &
Margareth, 2012).
BPH
adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua
yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner
& Suddarth, 2002).
2.1.2
Etiologi
Menurut Sjamsuhidayat & jong (2005)
penyebab yang pasti dari terjadinya BPH belum diketahui secara pasti, beberapa
hipotesis menyatakan bahwa gangguan ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasi prostat adalah :
1. Adanya
perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada lanjit usia.
2. Peran
faktor pertumbuhan sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
3. Berkurangnya
sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
sel-sel prostat.
4. Teori
sel stem. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
2.1.3
Manifestasi Klinis
Menurut
Kahan & Raves (2011) manifestasi klinis penyakit BPH adalah :
1. Pada
awalnya atau saat terjadinya pembesaran prostat, tidak ada gejala, sebab
tekanan otot dapat mengalami kompensasi untuk mengurangi resistensi uretra.
2. Gejala
obstruksi, hesistensi, ukurannya mengecil dan menekan pengeluaran urine, adanya
perasaan berkemih tidak tuntas, dan retensi urine.
3. Terdapat
gejala iritasi, berkemih mendadak, sering dan nokturia.
2.1.4
Tanda
dan gejala
Menurut
Kahan & Raves (2011) tanda dan
gejala dari BPH adalah :
1. Gejala
obstruktif
a. Hesitansi
(sulit memulai miksi,harus menunggu lama)
b. Pancaran
miksi lemah
c. Intermiten
(Kencing terputus-putus)
d. Rasa
tidak puas setelah miksi
e. Menetes
setelah miksi
f. Waktu
miksi memanjang sehingga terjadi retensi urine
2. Gejala
iritasi
a. Sering
miksi (frekuensi)
b. Terbangun
pada malam hari karena keinginan untuk miksi (nokturia)
c. Perasaan
ingin miksi yang mendesak (urgensi)
d. Nyeri
saat miksi (disuria)
2.1.5
Anatomi
dan Fisiologi BPH
Kelenjar
prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi/ mengitari uretra
poterior dan di sebelah proksimalnya berhubungan dengan buli- buli, sedangkan
bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang
sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa
kurang lebih sebesar buah kenari atau jeruk nipis. Ukuran panjangnya
4-6 cm, lebar sampai 3-4cm dan tebal ± 2-3 cm.
Beratnya sekitar 20 gram (Jitowijoyo & Kristianasari, 2012).


Fungsi
prostat adalah menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna untuk
melindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terdapat pada uretra dan vagina,
juga berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi
(penggumpalan) di dalam testis. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10-30%
dari ejakulasi. Di bawah kelenjar ini terdapat kelenjar bulbo uretralis yang
memiliki panjang 2-5 cm, fungsi hampir sama dengan kelenjar prostat. Kelenjar
ini menghasilkan sekresi yang penyalurannya dari testis secara kimiawi dan
fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa. Sewaktu perangsangan seksual, prostat
mengeluarkan cairan encer seperti susu yang mengandung berbagai enzim dan ion
ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan vesikula
seminalis dan sperma. Cairan prostat bersifat basa (alkalis). Sewaktu mengendap
di cairan vagina wanita, bersama dengan ejakulat yang lain, cairan ini dibutuhkan
karena motilitas sperma akan berkurang dalam lingkungan dengan pH rendah
(Wijaya & Putri, 2013).
2.1.6
Patofisiologi
BPH terjadi pada umur yang semakin tua
(> 45 tahun) dimana fungsi testis sudah menurun. Akibat penurunan fungsi
testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan
dehidrostestosteron sehingga memacu pertumbuhan/pembesaran prostat (Rendy &
Margareth, 2012).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakula (tonjolan mukosa yang kecil) atau divertikel
(tonjolan mukosa yang besar). Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi
saluran kemih atas (Wijaya & Putri, 2013).
Adapun patofisiologi dari masig-masing
gejala menurut Sjamsuhidayat & Jong (2005) adalah :
a. Pancaran
miksi menjadi lemah karena adanya obstruksi saluran kemih.
b. Hesitancy
terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra.
c. Intermitten
terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir
miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena
jumlah residu urine yang banyak dalam buli-buli.
d. Nokturia
dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi
sehingga interval antar miksi lebih pendek.
e. Frekuensi
bertambah terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal
dari korteks berkurang selama tidur.
f. Urgensi
dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan detrusor
sehingga terjadi kontraksi involunter.
2.1.7
Diagnosa
Banding
Menurut
Kahan & Raves (2011) diagnosa banding penyakit BPH adalah:
1.
Infeksi (Sistitis/
uretritis, prostatitis).
2.
Striktur
uretra.
3.
Batu buli.
4.
Kanker prostat.
5.
Buli
neurogenik.
2.1.8
Komplikasi
Menurut
Wijaya & Putri (2013) komplikasi
dari BPH adalah :
1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks
vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, serta gagal ginjal.
2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi pada saat miksi.
3. Hernia atau haemorhoid.
4. Terbentuknya batu, karena selalu terdapat
sisa urine di kandung kemih.
5. Hematuria.
6. Sistitis dan pielonefritis.
2.1.9
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
penunjang untuk penyakit BPH menurut Rendy & Margareth (2012) adalah :
1. Pengukuran
besarnya hipertrofi prostat dengan cara :
a. Rectal
garding, yaitu dengan rectal toucher diperkirakan berapa cm prostat yang
menonjol ke dalam lumen rektum yang dilakukan sebaiknya pada saat buli-buli
kosong.
Gradasi
ini adalah :
1) 0-1
cm : grade 0
2) 1-2
cm : grade 1
3) 2-3
cm : grade 2
4) 3-4
cm : grade 3
5) 4
cm : grade 4
b. Clinical
grading, dalam hal ini urine menjadi patokan. Pada pagi hari setelah bangun
pasien disuruh kencing sampai selesai, kemudian di masukan kateter ke dalam
buli-buli untuk mengukur sisa urine.
1) Sisa
urine 0 cc : normal
2) Sisa
urine 0-50 cc : grade 1
3)
Sisa urine 50-150 cc : grade 2
4)
Sisa urine > 150 cc : grade 3
5)
Tidak bisa kencing : grade 4
c. Intra
uretral grading, dengan alat perondoskope dengan diukur/dilihat berapa jauh
penonjolan lobus lateral ke dalam lumen uretra.
1) Grade
1 : Clinical grading sejak berbulan-bulan, berbulan-bulan, bertahun-tahun,
mengeluh kalau kencing tidak lancar, pancaran lemah, nokturia.
2) Grade
2 : Bila miksi terasa panas, sakit, disuria.
3) Grade
3 : Gejala makin berat.
4) Grade
4 : Buli-buli penuh, disuria, overflow inkontinence. Bila overflow inkontinence
dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien
menggigil, panas 40 41° C, kesadaran menurun.
2. Pemeriksaan
laboratorium
Analisis
urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi
lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih,
walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria.
3. Pemeriksaan
Radiologis
1) USG
(Transuretal Ultrasonografi Prostat) untuk menentukan volume prostat.
2) Trans-abdominal
USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke buli-buli yang dapat
dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika.
3)
Cystocopy
adalah prosedur pemeriksaan dengan sebuah tabung
fleksible berlensa yang dimasukkan melalui uretra ke
dalam kandung kemih untuk melihat adanya penebalan pada dinding
kandung kemih.
2.1.10
Pencegahan
Menurut Nanda & Nic-Noc,
2013 BPH dapat dicegah dengan :
1.
Menghentikan
kebiasaaan merokok
Orang yang cenderung mengkonsumsi
rokok akan meningkatkan resiko terjadinya BPH, sebab rokok banyak mengandung
nikotin. Rokok dapat meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga
menyebabkan penurunan kadar testosteron.
2.
Menjaga
kebersihan
Kebersihan
saat aktivitas seksual juga dapat berdampak pada BPH karena aktivitas seksual
yang tidak di jaga kebersihannya menyebabkan infeksi prostat yang selanjutnya
mengakibatkan BPH.
3.
Aktivitas
seksual
Orang
yang berlebihan dalam aktifitas seksual akan mengalami peningkatan tekanan
darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika tekanan darah ke prostat selalu tinggi,
akan terjadi hambatan prostat yang mengakibatkan kalenjar tersebut bengkak
permanen. Seseorang akan memiliki risiko terkena BPH lebih besar bila pada
anggota keluarganya ada yang menderita BPH atau kanker Prostat.
4.
Menjaga pola
hidup yang baik
Menjaga pola
hidup yang baik seperti makan makanan yang
banyak mengandung vitamin, menghindari kosumsi alkohol mengehindari pola
makan tinggi lemak, mengkonsumsu makanan tinggi serat dan berolah raga secara
teratur.
2.1.11
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit BPH menurut
Wijaya & Putri (2013) dan Brunner & Suddarth (2002) adalah sebagai
berikut :
1. Observasi
Biasanya
dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan yaitu
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol supaya tidak selalu sering
miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing dan pemeriksaan
colok dubur.
2. Terapi
medikamentosa
Tujuan terapi
medikamentosa adalah untuk :
a. Mengurangi
retensio otot polos prostate sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenalik α.
b. Mengurangi
volume prostate sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar
dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5 α-redukstate.
1) Penghambat
enzim
Obat
yang dipakai adalah Finasteride dengan dosis 1x5 mg/hari, obat golongan ini
dapat menghambat pembentukan dehate sehingga prostate dapat membesar akan
mengecil. Tetapi obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan bloker dan
manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Salah satu efek samping obat
ini adalah melemahkan libido, ginekomastio, dan dapat menurunkan nilai PSA.
2) Filoterapi
Pengobatan
filoterapi yang ada di Indonesia yaitu eviprostat. Efeknya diharapkan terjadi
setelah pemberian selama 1-2 bulan.
3. Pembedahan
1)
Reseksi transuretral prostat (TURP)
adalah prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan melalui endoskopi.
Instrumen bedah dan optikal dimasukkan secara langsung melalui uretra ke dalam
prostat. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik.
Prostatektomi transuretral jarang menyebabkan disfungsi erektil tetapi dapat
menyebabkan ejakulasi retrograde kerena pengangkatan jaringan prostat pada
kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke
dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.

Gambar
2.2 Reseksi
Transuretral Prostat (Omini, 2013)
2)
Prostatektomi suprapubis adalah salah
satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Suatu insisi dibuat ke
dalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat ke atas. Pendekatan ini
dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, beberapa komplikasi
terjadi, meskipun kehilangan darah mungkin lebih banyak dibanding metode
lainnya. Kerugian lainnyaadalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomen mayor.

Gambar
2.3 Prostatektomi
Suprapubis (Rachmawati dkk, 2011)
3)
Prostatektomi parineal adalah mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Pendekatan ini lebih lebih
praktis ketika pendekatan lainnya tidak memungkinkan, dan sangat berguna untuk
biopsi terbuka. Pada periode pascaoperatif, luka bedah mudah terkontaminasi
karena insisi dilakukan dekat dengan rektum. Lebih jauh lagi, inkontinensia,
impotensi, atau cedera rektal lebih mungkin menjadi komplikasi dari pendekatan
ini.

Gambar
2.4 Prostatektomi
Perineal (Omini, 2013)
4)
Prostatektomi retropubik adalah teknik lain dan lebih umum dibanding
pendekatan suprapubik. Insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu
antara pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok
untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang
hilang lebih dapat dikontrol baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat,
infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis.

Gambar
2.5 Prostatektomi
Retropubik (Mullen, 2010)
2.1.12
Dampak
Masalah
Masalah yang sering terjadi pada pasien
BPH menurut Muttaqin & Sari (2009) adalah nyeri testis dan prostat,
hesistensi, hematuria, inkontinensia urine.
1.
Nyeri testis
dan prostat
Nyeri yang dirasakan pada daerah
kantong skrotum bisa bersal dari kelainan organ di kantong skrotum atau nyeri
alih yang berasal dari kelainan organ di luar kantong skrotum. Nyeri akut yang
disebabkan oleh kelainan organ di kantong testis dapat disebabkan oleh torsio
testis atau torsio apendiks testis, epididimtis/orkitis akut, atau trauma pada
testis. Inflamasi akut pada testis atau epididimis menyebabkan peregangan pada
kapsulnya sehingga dirasakan sebagai nyeri hebat.
2.
Infeksi
Infeksi
merupakan invasi oleh patogen atau mikroorganisme yang mampu menyebabkan sakit.
Jika mikro organisme gagal menyebabkan sakit dapat mengakibatkan hal yang lebih
serius dari sel dan jaringan (Potter & Perry, 2005). Infeksi saluran
kandung kemih dan epididimis adalah komplikasi yang mungkin setelah
prostatektomi. Pasien dikaji terhadap yang terjadinya dan diberikan antibiotik
sesuai yang diresepsikan. Penatalaksanaan tentang epididimitis diuraikan
berikut ini.Trombosis, pasien yang menjalani prostatektomi mempunyai
insidens tinggi untuk mengalami trombosis vena profunda (DVT) dan embolisme
pulmoner. Dalam kasus seperti ini dokter dapat meresepkan terapi heparin dosis
rendah profilaktik. Perawat mengkaji pasien dengan sering terhadap manifestasi
TVP setelah pembedahan dan memasang stoking elastik untuk mengurangi risiko TVP
dan embolisme pulmoner. Klien yang mendapat heparin harus dipantau dengan ketat
terhadap perdarahan berlebihan.
3.
Hesistansi
Hesistansi adalah awal keluarnya
urine menjadi lebih lama dan sering kali pasien harus mengejan untuk memulai
miksi. Setelah urine keluar, pancarannya menjadi lemah, tidak jauh dan kecil
yang biasanya disebabkan oleh obstruksi pada saluran kemih.Intermitensi,
merupakan keluhan miksi dimana pada pertengahan miksi sering kali mikis
berhenti, kemudian memancar lagi, dan keadaan ini terjadi berulang-ulang. Miksi
diakhiri dengan perasaan masih terasa ada sisa urine di dalam kandung kemih dan
masih ada tetesan-tetesan urine yang keluar.
4.
Hematuria
Hematuria merupakan suatu keadaan
didapatkannya sel darah merah di dalam urine. Porsi hematuria yang keluar perlu
diperhatikan, apakah terjadi pada saat awal miksi, seluruh proses miksi, atau
akhir miksi. Perawat perlu mengkaji mendalam keluhan hematuria, terutama pada
pasien hematuria tanpa adanya riwayat trauma pada saluran kencing. Khususnya
keluhan hematuria disertai nyeri yang kemungkinan menunjukkan adanya keganasan
di saluran kemih.
5.
Inkontinensia
urine
Inkontinensia urine adalah
ketidakmampuan seseorang untuk menahan urine yang keluar dari kandung kemih,
baik disadari ataupun tidak disadari. Menurut Purnomo (2003), terdapat beberapa
macam inkontinensia urine, yaitu inkontinensia kontinu (true), inkontinensia stres,
inkontinensia urgensi (urge), dan inkontinensia paradoksal (overflow).
2.2
Konsep Nyeri
2.2.1
Pengertian nyeri
Nyeri adalah kondisi yang sangat tidak
menyenangkan dan sangat individual yang tidak dapat berbagi dengan orang lain.
Nyeri dapat mempengaruhi seluruh pikiran
seseorang , mengatur aktivitasnya, dan mengubah kehidupan seseorang tersebut
(Berman dkk, 2009).
2.2.2
Klasifikasi nyeri
Klasifikasi
nyeri menurut Berman dkk (2009) adalah
sebagai berikut :
Nyeri
dapat dijelaskan berdasarkan durasi, lokasi, atau etiologi. Ketika nyeri hanya
dirasakan selama periode penyembuhan yang diharapkan, nyeri disebut sebagai
berikut:
1.
Nyeri akut
Baik yang awitan tiba-tiba atau yang lambat dan tanpa memperhatikan
insidentitasnya.
2.
Nyeri kronis
Merupakan nyeri yang berlangsung berkepanjangan . biasannya nyeri
dapat berulang atau menetap sampai enam bulan atau lebih, selain itu mengganggu
fungsi tubuh.
Nyeri dapat dikategorikan
menurut asalnya yaitu:
1.
Nyeri
kutanius
Nyeri yang berasal dari kulit atau jaringan subkutan contoh nyeri
subkutan seperti nyeri akibat teriris kertas menimbulkan nyeri yang tajam
dengan sedikit rasa terbakar.
2.
Nyeri somatik
dalam
Nyeri ini berasal dari ligamen,tendon,tulang,pembuluh darah dan
syaraf. Nyeri tersebut menyebar dan cenderung berlangsung lebih lama
dibandingkan nyeri kutaneus.
3.
Nyeri visial
Nyeri visial cenderung menyebar seperti terasa terbakar, gatal,
atau terasa seperti ada tekanan. Nyeri visial disebabkan oleh meregangnya
jaringan iskemia, atau spasme otot.
4.
Nyeri radiasi
(nyeri yang menyebar)
Nyeri ini dirasakan pada sumber nyeri dan menyebar ke jaringan
sekitarnya contoh nyeri dada yang tidak
dirasakan di dada saja tetapi juga di sepanjang bahu kiri dan turun ke lengan.
5.
Nyeri alih
Nyeri yang dirasakan yang dirasakan jauh dari jaringan yang
menyebabkan nyeri.
6.
Nyeri yang
tidak dapat dilacak
Nyeri ini bersifat sangat sulit diatasi contohnya adalah nyeri yang bersal dari keganasan
tingkat lanjut.
7.
Nyeri
neuropatik
Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf pusat atau tepi.
Nyeri neuropatik dapat berlangsung lama, perasaan tidak menyenangkan,dan dapat
digambarkan seperti rasa terbakar, tumpul, dan gatal.
8.
Nyeri phantom
Sensasi sangat menyakitkan yang dirasakan pada bagian tubuh yang
hilang atau yang mengalami paralisis karena cedera medula spinalis. Nyeri
neuropatik dapat didapatkan dibedakan
dari sensasi phantom yaitu perasaan bahwa bagian tubuh yang hilang masih tetap
ada.
2.3
Konsep
Dasar Aktivitas
2.3.1
Pengertian
Aktivitas
Aktivitas adalah suatu energy atau keadaan
bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
(Tarwoto & Wartonah, 2006).
2.3.2
Fisiologi
Pergerakan
Fisiologi pergerakan menurut Tarwoto &
Wartonah (2006) Pergerakan merupakan rangkaian yang terintegrasi antara sistem
musculoskeletal dan sistem persarafan.
Sistem skeletal berfungsi:
1. Mendukung
dan member bentuk jaringan tubuh.
2. Melindungi
bagian tubuh tertentu seperti paru, hati, ginjal, otak, paru-paru.
3. Tempat
melekatnya otot dan tendon.
4. Sumber
mineral seperti garam dan fosfat.
5. Tempat
produksi sel darah.
Sistem
otot berfungsi sebagai:
1. Pergerakan.
2. Membentuk
postur.
3. Produksi
panas karena adanya kontraksi dan relaksasi.
Sistem
persarafan berfungsi:
1. Saraf
afferent menerima rangsangan dari luar kemudian diteruskan ke susunan saraf
pusat.
2. Sel
saraf atau neuron membawa impuls dari bagian tubuh satu ke lainnya.
3. Saraf
pusat memproses impuls dan kemudian memberikan respons melalui saraf efferent.
4. Saraf
efferent menerima respons dan diteruskan ke otot rangka.
Tiga
faktor proses terjadinya pergerakan, antara lain:
1. Stimulasi
saraf motorik
Kontraksi
otot dimulai karena adanya stimulasi dari saraf motorik yang dikontrol oleh
korteks serebri, cerebellum, batang otak, dan basal ganglia. Upper motor neuron
merupakan saraf yang berjalan dari otak ke sinaps pada bagian anterior horn
medulla spinalis, sedangkan lower motor neuron merupakan saraf-saraf yang
keluar dari medulla spinalis menuju ke otot rangka. Signal listrik dan potensial
aksi terjadi sepanjang mealin sepanjang akson saraf motorik yang berjalan
secara Saltatory Conduction. Impuls listrik berjalan dari saraf motorik ke sel
otot melalui sinaps dengan bantuan neutransmiter asetilkolin.
2. Transmisi
neuromuscular
Asertilkolin
dihasilkan dari vesikel pada akson terminal. Adanya depolarisasi dan potensial
aksi pada akson terminal merangsang ion kalsium dari cairan ekstraseluler
kemudian terjadi perpindahan ke membrane akson terminal. Bersamaan dengan itu,
molekul asetilkolin masuk ke celah sinaps yang selanjutnya akan ditangkapoleh
reseptor maka terjadilah potensial aksi pada sel otot dan terjadilah kontraksi.
Setelah asetilkolin terpakai selanjutnya dipecah atau dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase menjadi kolin yang kemudian ditranspor kemali ke akson
untuk bahan pembentukan asetilkolin.
3. Eksitasi-kontraksi
Couplin
Merupakan mekanisme molekuler peristiwa
kontraksi. Adanya impuls di neuron motorik menimbulkan ujung akson melepaskan
asetilkolin dan menimbulkan potensial aksi di serat otot. Potensial aksi
menyebar ke seluruh serat otot sampai ke sistem T. keadaan ini mempengaruhi
reticulum sarkoplasma melepaskan ion kalsium yang kemudian diikat oleh troponin
C, sehingga ikatan troponin I dengan aktin terlepas. Lepasnya ikatan troponin I
dengan aktin menimbulkan tropomiosin bergeser dan terbukalah celah atau biding
site aktin sehingga terjadi ikatan antara aktin dan myosin serta kontraksi otot
terjadi.
2.4
Konsep Dasar Eliminasi Urine
2.4.1
Pengertian Eliminasi Urine
Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran
cairan. Proses pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ
eliminasi urine seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra. Ginjal memindahkan
air dari darah dalam bentuk urine. Ureter mengalirkan urine ke bladder. Dalam
bladder urine ditampung sampai mencapai batas tertentu yang kemudian
dikeluarkan melalui uretra.
2.4.2
Pola
Eliminasi Urine Normal
Pola eliminasi urine sangat tergantung pada
individu, biasanya miksi setelah bekerja, makan atau bangun tidur. Normalnya
miksi dalam sehari sekitar 5 kali.
2.4.3
Karakteristik
Urine Normal
Warna urine normal adalah kuning terang karena
adanya pigmen urochrome. Namun demikian, warna urine tergantung pada intake
cairan, keadaan dehidrasi, konsentrasinya menjadi lebih pekat dan kecoklatan,
penggunaan obat – obat tertentu seperti multivitamin dan preparat besi maka
urine akan berubah menjadi kemerahan sampai kehitaman.
Bau urine normal adalah bau khas amoniak yang
merupakan hasil pemecagahan urea oleh bakteri. Pemberian pengobatan akan
mempengarihi bau urine. Jumlah urine yang dikeluarkan tergantung pada usia,
intake cairan, dan status kesehatan. pada orang dewasa sekitar 1200-1500 ml per
hari atau 150-600 ml per sekali miksi.
2.4.4
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Eliminasi Urine
1. Pertumbuhan
dan perkembangan
usia dan berat badan dapat mempengaruhi jumlah pengeluaran urine.
Pada usia lanjut volume bladder berkurang, demikian juga wanita hamil sehingga
frekuensi berkemih juga akan lebih sering.
2. Sosiokultural
Budaya masyarakat dimana sebagian masyarakat hanya dapat miksi pada
tempat tertutup dan sebaliknya ada masyarakat yang dapat miksi pada tempat
tertutup dan sebaliknya ada masyarakat yang dapat miksi pada lokasi terbuka.
3. Psikologis
Pada keadaan cemas dan stres akan meningkatkan stimulasi berkemih.
4. Kebiasaan
seseorang
Misalnya seseorang hanya bisa berkemih di toilet, sehingga ia tidak
dapat berkemih dengan menggunakan pot urine.
5. Tonus
Otot
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot bladder, otot abdomen, dan
pelvis untuk berkontraksi. Jika ada gangguan tonus, otot dorongan untuk
berkemih akan berulang.
6. intake
cairan dan makanan
Alkohol menghambat Anti Diuretik Hormon (ADH) untuk meningkatkan
pembuangan urine. Kopi, teh, coklat (mengandung kafein) dapat meningkatkan
pembuangan dan ekskresi urine.
7. Kondisi
penyakit
Pada pasien yang demam akan terjadi penurunan produksi urine karena
banyak cairan yang dikeluarkan melalui kulit. Peradangan dan iritasi organ
kemih menimbulkan retensi urine.
8. Pembedahan
Penggunaan anestesi menurunkan filtrasi glomerulus sehingga
produksi urine akan menurun.
9. Pengobatan
Penggunaan diuretik meningkatkan output urine, antikolinergik, dan
antihipertensi menimbulkan retensi urine.
10. Pemeriksaan
diagnostik
Intravenus pyelogram dimana pasien dibatasi intake sebelum prosedur
untuk mengurangi output urine. Cystocopy dapat menimbulkan edema lokal pada
uretra, spasme pada spinter bladder sehingga dapat menimbulkan urine.
2.5
Konsep
Dasar Cairan dan Elektrolit
2.5.1
Sistem
yang Berperan dalam Kebutuhan Cairan dan Elektrolit
Menurut Alimul (2006) pengaturan kebutuhan
cairan dan elektrolit dalam tubuh diatur oleh ginjal, kulit, paru dan
gastrointestinal.
1. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang memiliki peran
cukup besar dalam mengatur kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini terlihat
pada fungsi ginjal, yaitu sebagai pengatur air, pengatur konsentrasi garam
dalam darah, pengatur keseimbangan asam-basa darah, dan ekskresi bahan buangan
atau kelebihan garam.
Rata-rata setiap satu liter darah mengandung
500 cc plasma yang mengalir melalui glomerulus, 10 persennya disaring keluar.
Cairan yang tersaring kemudian mengalir melalui tubuli renalis yang sel-selnya
menyerap semua bahan yang dibutuhkan. Jumlah urin yang diproduksi ginjal
rata-rata 1 ml/kg/bb/jam.
2.
Kulit
Kulit merupakan bagian penting pengaturan
cairan yang terkait dengan proses pengaturan panas. Proses ini diatur oleh
pusat pengatur panas yang disarafi oleh vasomotorik dengan kemampuan
mengendalikan arteriol kutan dengan cara vasodilatasi dan vasokontriksi. Pada
proses pelepasan panas dapat dilakukan dengan cara penguapan. Jumlah keringat
yang dikeluarkan tergantung pada banyaknya darah yang mengalir melalui pembuluh
darah dalam kulit. Keringat merupakan sekresi aktif dari kelenjar keringat di
bawah pengendalian saraf simpatis. Melalui kelenjar keringat ini suhu dapat
diturunkan dengan jumlah air yang dapat dilepaskan, kurang lebih setengah liter
sehari. Perangsangan kelenjar keringan yang dihasilkan dapat diperoleh melalui
aktivitas otot, suhu lingkungan, dan kondisi suhu tubuh yang panas.
3.
Paru
Organ paru berperan mengeluarkan cairan dengan
menghasilkan insensible water loss kurang
lebih 400 ml/hari. Proses pengeluaran cairan terkait dengan respons akibat
perubahan upaya kemampuan bernapas.
4.
Gastrointestinal
Gastrointestinal merupakan organ saluran
pencernaan yang berperan dalam mengeluarkan cairan melalui proses penyerapan
dan pengeluaran air. Dalam kondisi normal, cairan yang hilang dalam sistem ini
sekitar 100 – 200 ml/hari.
2.5.2
Kebutuhan
Cairan Tubuh Bagi Manusia
Kebutuhan cairan merupakan bagian dari
kebutuhan dasar manusia secara fisiologis, yang memiliki proporsi besar dalam
bagian tubuh, hampir 90% dari total berat badan tubuh. Sementara itu, sisanya
merupakan bagian padat dari tubuh. Secara keseluruhan, kategori persentase
cairan tubuh berdasarkan umur adalah: bayi baru lahir 75% dari total berat
bada, pria dewasa 57% dari total berat badan, wanita dewasa 55% dari total
berat badan, dan dewasa tua 45% dari total berat badan. Persentase cairan tubuh
bervariasi, bergantung pada faktor usia, lemak dalam tubuh, dan jenis kelamin.
Jika lemak tubuh sedikit, maka cairan dalam tubuh lebih besar. Wanita dewasa
mempunyai jumlah cairan tubuh lebih sedikit dibanding pria karena pada wanita
dewasa jumlah lemak dalam tubuh lebih banyak dibanding pada pria.
2.5.3
Pengaturan
Volume Cairan Tubuh
Keseimbangan cairan dalam tubuh dihitung dari
keseimbangan antara jumlah cairan yang masuk dan jumlah cairan yang keluar.
1. Asupan
cairan
Asupan cairan untuk kondisi normal pada orang
dewasa adalah ± 2500 cc per hari. Asupan cairan dapat langsung berupa cairan
atau ditambah dari makanan lain. Pengaturan mekanisme keseimbangan cairan ini
menggunakan mekanisme haus. Pusat pengaturan rasa haus adalam hipotalamus.
Apabila terjadi ketidakseimbangan volume cairan tubuh maka curah jantung
menurun, menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah.
2. Pengeluaran
cairan
Pengeluaran cairan dalam kondisi normal adalah
±2300 cc. jumlah air yang paling banyak keluar berasal dari ekskresi ginjal
(berupa urin), sebanyak ±1500 cc per hari pada orang dewasa. Pengeluaran cairan
dapat pula dilakukan melalui kulit (keringat) dan saluran pencernaan (feses).
2.6
Konsep
Dasar Infeksi
2.6.1
Pengertian
Infeksi
Infeksi adalah suatu kondisi penyakit akibat
masuknya kuman pathogen atau mikroorganisme lain ke dalam tubuh atau ke tubuh
sehingga menimbulkan gejala tertentu. Apabila pada suatu jaringan terdapat
jejas akibat trauma, bakteri, panas, ataupun bahan kimia, pada jaringan
tersebut akan terjadi perubahan sekunder yang disebut peradangan. Kondisi ini
ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah local, peningkatan permeabilits
kapiler, pembekuan cairan dalam ruang interstisial, migrasi sejumlah besar
granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembekakakn sel (Mubarak, 2008).
2.6.2
Tanda-tanda
Infeksi
Menurut Mubarak (2008), tanda-tanda infeksi
secara klinis dapat dilihat pada respons klien, baik lokal maupun sitemik.
Tanda infeksi lokal meliputi:
1.
Rubor atau kemerahan, biasanya merupakan tanda
yang pertama terlihat pada daerah yang mengalami infeksi.
2.
Kalor atau panas, merupakan sifat dari reaksi
infeksi yang hanya terjadi pada permukaan tubuh.
3.
Dolor atau rasa sakit/nyeri, ini terjadi akibat
perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu yang dapat
merangsang ujung-ujung saraf.
4.
Tumor atau bengkak, disebabkan oleh pengiriman
cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial.
5.
Fungsio laesa atau perubahan fungsi/keterbatasan
anggota gerak.
Sedangkan tanda infeksi sistemik meliputi
demam, malaise, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, dan diare.
2.6.3
Proses
Klinis Infeksi
Menurut Mubarak (2008) proses klinis terjadinya infeksi ditentukan oleh enam link yang membentuk rantai infeksi. Link tersebut meliputi agens infeksius
(mikroorganisme), sumber infeksi (reservoir), pintu keluar, metode penyebaran,
pintu masuk, dan hospes yang rentan.
1.
Agens infeksius (mikroorganisme)
Kemampuan mikroorganisme untuk menimbulkan
proses infeksi bergantung pada jumlah mikroorganisme yang masuk, virulensi dan
potensi mikroorganisme, kemampuan mikroorganisme memasuki tubuh, kerentanan
hospes, dan kemampuan miroorganisme memasuki tubuh, kerentanan hospes, dan
kemampuan mikroorganisme untuk hidup di dalam hospes.
2.
Reservoir
Banyak hal yang bisa menjadi reservoir atau
sumber mikroorganisme, di antaranya adalah manusia, tanaman, hewan, lingkungan,
dan mikroorganisme klien sendiri. Pada tubuh manusia, mikroorganisme paling
banyak ditemukan di kulit, salurang pencernaan, mulut, alat kelamin, kolon, dan
uretra bagian bawah. Sedangkan di lingkungan, mikroorganisme dapat berasal dari
makanan, air, feses, atau objek tertentu.
3.
Pintu keluar
Sebelum menyebabkan infeksi pada tubuh hospes,
mikroorganisme terlebih dahulu harus meninggalkan reservoir.
4.
Metode penyebaran
Setelah meninggalkan reservoir, mikroorganisme
memerlukan sarana untuk masuk ke dalam tubuh hospes melalui pintu masuk. Secara
umum, ada tiga mekanisme penyebaran, yaitu:
a. Penyebaran
langsung
Perpindahan mikroorganisme secara langsung dan
segera dari satu individu ke individu lain melalui sentuhan, gigitan, ciuman,
hubungan seksual, atau bisa pula melalui percikan ludah (droplet) pada jarak
kurang dari tiga kaki.
b. Penyebaran
tak langsung
Perpindahan mikroorganisme dengan bantuan media atau vektor.
1) Penyebaran
melalui media
Media disini adalah setiap substansi atau benda
yang dapat menjadi perantara masuknya mikroorganisme ke dalam hospes yang
rentan. Media tersebut dapat berupa mainan, pakaian kotor, peralatan masak,
peralatan bedah, makanan, air, darah. Selain itu penyebaran juga bisa terjadi
dengan bantuan manusia, seperti tenaga perawat, dokter, ahli terapi.
2) Penyebaran
melalui vektor
Vektor adalah hewan atau serangga yang
bertindak sebagai perantara penyebaran agens infeksi. Penyebaran mikroorganisme
dapat berlangsung melalui saliva atau materi feses.
c. Transmisi
udara.
Penyebaran mikroorganisme dapat berlangsung
melalui droplet atau debu yang kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pintu masuk yang sesuai, biasanya salurang pernapasan.
d. Pintu
masuk
Infeksi dapat terjadi setelah mikroorganisme
berhasil masuk ke dalam tubuh hospes. Biasanya, mikroorganisme masuk ke dalam
tubuh hospes malalui rute yang sama seperti saat keluar dari reservoir.
e. Hospes
yang rentan
Hospes yang rentan adalah setiap individu yang
beresiko mengalami infeksi. Tingkat resistensi individu terhadap kumat pathogen
yang masuk dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu stress yang
berkepanjangan, status nutrisi yang buruk, kelelahan, usia yang terlalu muda
atau sangat tua, penyakit kronis, pengobatan yang menekan produksi sel darah
putih.
2.6.4
Faktor
yang Meningkatkan Kerentanan Terhadap Infeksi
Menurut Mubarak (2008) faktor yang meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi adalah :
1.
Usia
Bayi lahir dan lansia memiliki pertahanan tubuh
rendah terhadap infeksi. Bayi baru lahir memiliki sistem imun yang imatur dan
hanya dilindungi oleh immunoglobulin pasif (IgG) yang diperoleh dari ibu pada 2
– 3 bulan pertama kehidupannya. Sedangkan lansia mengalami perlemahan sistem
imun akibat proses penuaan.
2.
Hereditas
Pada sebagian orang, faktor hereditas
berpengaruh terhadap perkembangan infeksi. Kelainan bawaan berupa rendahnya
immunoglobulin serum menyebabkan seseorang rentan terhadap jenis infeksi
tertentu.
3.
Status imunisasi
Lengkap tidaknya status imunisasi seseorang
berpengaruh terhadap perkembangan infeksi.
4.
Terapi yang dijalani
Sejumlah terapi medis dapat menyebabkan infeksi
pada pasien. Sebagai contoh, terapi radiasi atau kemoterapi tidak hanya bekerja
menghancurkan sel kanker, tetapi juga sel yang normal. Akibatnya individu
semakin rentan terhadap infeksi.
5.
Status nutrisi
Kekebalan tubuh terhadap infeksi bergantung
pada status nutrisi yang baik. Karena antibodi merupakan protein, maka status
nutrisi yang buruk dapat mengganggu kemampuan tubuh menyintesis antibodi.
6.
Kelelahan
Kondisi lelah dapat menurunkan daya tahan
tubuh. Akibatnya, individu akan semakin rentan terhadap infeksi.
7.
Stress
Kondisi stress menyebabkan peningkatan kadar kortison
dalam darah. Peningkatan kortison dalam waktu lama dapat menyebabkan penurunan
respons anti-inflamasi, kelelahan, dan penurunan daya tahan tubuh.
2.6.5
Tahapan
Proses Infeksi
Tahapan
proses infeksi menurut Mubarak (2008) yaitu:
1.
Periode inkubasi
Periode sejak masuknya kuman ke dalam tubuh
sampai dengan munculnya gejala. Lamanya waktu yang dibutuhkan sampai gejala
muncul bervariasi, bergantung pada penyakitnya.
2.
Periode prodromal
Periode sejak muncul gejala umum sampai
munculnya gejala spesifik. Pada masa ini, individu sangat infeksius, yaitu
mudah menularkan atau menyebarkan kuman kepada orang lain.
3.
Periode sakit
Pada periode ini, gejala spesifik terus
berkembang dan menimbulkan menifestasi pada organ yang terinfeksi dan seluruh
tubuh. Lamanya waktu yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi individu dan
patogenitas kuman.
4.
Periode konvalensi
Periode ini berlangsung sejak menurunnya gejala
sampai individu kembali sehat. Lamanya waktu yang dibutuhkan bergantung pada
jenis penyakit dan kondisi individu.
2.7
Konsep
Dasar Psikososial
2.7.1
Konsep
Diri
Konsep
diri adalah semua perasaan, kepercayaan, dan nilai yang diketahui indivdu
tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain.
Konsep diri berkembang secra bertahap saat bayi mulai mengenal dan membedakan
dirinya dengan orang lain.
Pembentukan
konsep diri ini sangat dipengaruhi oleh asuhan orang tua dan lingkungannya.
2.7.2
Komponen
Konsep Diri
1. Citra
tubuh
Citra tubuh adalah
sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup
persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan tubuh saat
ini dan masa lalu
2. Ideal
diri
Persepsi individu
terhadap bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar perilaku. Ideal
diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi
3. Harga
diri
Harga diri adalah
penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis, sejauh mana perilaku
memenuhi ideal diri. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga dirinya
akan tinggi dan jika mengalami gagal cenderung harga diri menjadi rendah. Harga
diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain
4. Peran
diri
Peran diri adalah pola
sikap, perilaku nilai yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di
masyarakat
5. Identitas
diri
Identitas diri adalah
kesadaran akan dirinya sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang
merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang
utuh.
2.8
Konsep
Dasar Ansietas
2.8.1
Pengertian
Ansietas
Ansietas
merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya dan mekanisme diri yang digunakan
dalam mengatasi permasalahan. Ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai asal
ansietas.
2.8.2
Teori
Ansietas
1.
Teori psikoanalisis
Dalam pandangan
psikoanalisis, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen
kepribadian yaitu id dan superego. Id memiliki dorongan insting dan impuls
primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan
dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi
tuntutan dari dua elemen tersebut, dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego
bahwa ada bahaya.
2.
Teori interpersonal
Dalam pandangan
interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut terhadap penolakan saat
berhubungan dengan orang lain. Hal ini juga dihubungkan dengan trauma pada masa
pertumbuhan, seperti kehilangan dan perpisahan dengan orang yang dicintai.
Penolakan terhadap eksistensi dari oleh orang lain ataupun masyarakat akan
menyebabkan individu yang bersangkutan menjadi cemas. Namun bila keberadaannya
diterima oleh orang lain, maka ia akan merasa tenang dan tidak cemas. Dengan
demikian, ansietas berkaitan dengan hubungan antara manusia.
3.
Teori perilaku
Menurut pandangan
perilaku, ansietas merupakan hasil frustasi. Ketidakmampuan atau kegagalan
dalam mencapai suatu tujuan yang diinginkan akan menimbulkan frustasi atau
keputusasaan. Keputusasaan inilah yang menyebabkan seseorang menjadi ansietas.
Faktor pencetus
ansietas
Faktor yang dapat
menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor
intenal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Namun demikian pencetus
ansietas dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu :
a. Ancaman
terhadap integritas diri, meliputi
ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
guna pemenuhan terhadap kebutuhan dirinya
b. Ancaman
terhadap sisitem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mngancam terhadap
identitas diri, harga diri, kehilangan status/ peran diri dan hubungan
interpersonal.
2.9
Asuhan
Keperawatan
Proses keperawatan adalah suatu
sistem dalam merencanakan pelayanan asuhan keperawatan yang mempunyai lima
tahapan. Tahapan yaitu pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Proses pemecahan masalah yang sistematik dalam memberikan pelayanan keperawatan
serta dapat menghasilkan rencana keperawatan yang menerangkan kebutuhan setiap
klien seperti yang tersebut diatas yaitu melakukan empat tahap keperawatan.
2.9.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan
dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (
Lyer et al, 1996 ). Data yang dikumpulkan dalam pengkajian ini meliputi bio –
psiko – sosio – spiritual. Dalam proses pengkajian ada 2 tahap yang perlu
dilalui yaitu pengumpulan data dan analisa data.
1.
Pengumpulan
Data
Pada tahap ini merupakan kegiatan dalam menghimpun
informasi ( data –data ) dari klien yang meliputi unsure bio – psiko –
spiritual yang komprehensif secara lengkap dan relevan untuk mengenal klien
agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan.
a.
Identitas
Identitas
klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku atau bangsa, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggan masuk rumah sakit, tanggal pengkajian.
Penyakit BPH terjadi pada pria usia diatas 50 tahun.
b.
Keluhan
utama
Biasanya klien mengeluh nyeri pada
saat miksi, BAK berulang-ulang (anyang-anyangan), terbangun untuk miksi pada
malam hari, perasaan ingin miksi yang sangat mendesak, jika mau miksi harus
menunggu lama, harus mengedan, kencing terputus-putus.
c.
Riwayat
penyakit dahulu
Apakah pasien pernah menderita BPH
sebelumnya dan apakah pasien pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.
d.
Riwayat
penyakit keluarga
Mungkin diantara keluarga pasien
sebelumnya ada yang menderita penyakit yang sama dengan penyakit pasien
sekarang.
e.
Pemeriksaan
fisik
1. Keadaan
umum dan tanda-tanda vital
Keadaan umum klien mengalami tanda-tanda penurunan mental seperti
neuropati perifer. Tanda vital tekanan darah mengalami peningkatan.
2. Pemeriksaan
kepala dan muka
Pada pemeriksaan kepala bentuk simetris, kulit kepala bersih, tidak
ada lesi, rambut tumbuh merata,beruban.
Pada pemeriksaan muka tidak ditemukan muka anemis, ekspresi wajah
menyeringai karena nyeri.
3. Pemeriksaan
mata
Pada pemeriksaan mata bentuk simetris, konjungtiva merah muda,
sklera tidak ikterus, fungsi penglihatan berkurang,
4. Pemeriksaan
hidung
Lubang hidung simetris, tidak ada sekret, penciuman baik.
5. Pemeriksaan
telinga
Bentuk telinga simetris, tidak ada perdarahan, ada sedikit serumen.
6. Pemeriksaan
mulut dan faring
Pada pemeriksaan mulut dan faring tidak ditemukan cyanosis dan
pembesaran tonsil.
7. Pemeriksaan
leher
Tidak ada pembesaaran kelenjar tyroid, tidak ada pembesaran vena
jugularis.
8. Pemeriksaan
payudara dan ketiak
Tidak ada gangguan pada pemeriksaan payudara dan ketiak.
9. Pemeriksaan
thorak
Inspeksi : bentuk dada normal, tidak ada tarikan intercostae.
Palpasi : tarikan dada kanan dan kiri simetris.
Perkusi : sonor.
Auskultasi : suara vesikuler, tidak ada suara tambahan, frekuensi
pernapasan 20x/menit.
10. Pemeriksaan
jantung
Inspeksi: tidak
ada iktus kordis.
Palpasi : tidak teraba iktus kordis.
Perkusi : tidak ada pembesaran jantung.
Auskultasi : suara bunyi jantung 1 dan 2 terdengar jelas dan
tunggal.
11. Pemeriksaan
abdomen
Inspeksi : bentuk datar, tidak ada benjolan, terdapat luka jahitan
bekas operasi pada atas simpisis dengan panjang ± 6-7 cm.
Daerah sekitar luka lembab, disisi kanan luka operasi terdapat drainase, tidak
ada tanda infeksi.
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada daerah luka operasi, tidak ada
massa.
Perkusi : suara tympani.
Auskultasi : suara bising usus 8x/menit.
Pembagian abdomen menjadi sembilan regio adalah sebagai berikut :
Hipokondria
kanan:
Hepar
|
Epigastrium
:
Gaster,
hepar, kolon tranversum
|
Hipokondria
kiri:
Kolon
tranversum, kolon desenden
|
Lumbalis
kanan :
Kolon
asenden
|
Umbilikalis
:
Umbilikus
dan usus halus
|
Lumbalis
kiri :
Kolon
desenden
|
Inguinalis
kanan :
Sekum
(umbai cacing & apendiks), ovarium kanan
|
Hipogastrium
:
Kandung
kemih
(bladder
atau vesica urinaria)
|
Inguinalis
kiri :
Kolon
sigmoid, ovarium kiri
|
1. Pemeriksaan
integumen
Pada pemeriksaan integumen ditemukan kulit bersih, warna kulit sawo
matang, tidak ada tanda dekubitus pada daerah yang tertekan.
2. Pemeriksaan
anggota gerak/ekstremitas
Tidak ditemukan gangguan pada pemeriksaan anggota gerak, pergerakan
aktif, tidak ada oedem, kekuatan otot baik tidak ada kelemahan.
3. Pemeriksaan
genetalia dan anus
Terpasang kateter pada genetalia, warna urine kuning agak
kecoklatan. Produksi urine biasanya 2000 cc/24 jam.
4. Pemeriksaan
status neurologis
Pada pemeriksaan status neurologis tidak ditemukan letargi
(penurunan kesadaran), tremor, kemungkinan terjadi penurunan mental.
2.
Analisa
Data
Dari
hasil pengakajian kemudian data tersebut dikelompokkan lalu dianalisa sehingga
dapat ditarik kesimpulan masalah yang timbul dan untuk selanjutnya dapat
dirumuskan diagnosa keperawatan.
2.9.2
Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien
prostatektomy menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler (2000) adalah :
1.
Gangguan eliminasi urine berhubungan
dengan obstruksi sekunder bekuan darah.
2.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan
dengan insisi pembedahan, spasme otot karena prosedur pembedahan.
3.
Risiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan prosedur invasif : tindakan pembedahan.
4.
Risiko tinggi terhadap disfungsi seksual
berhubungan dengan situasi krisis: status kesehatan, prosedur pembedahan.
5.
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi,
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
6.
Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
berhubungan dengan dampak nyeri akibat luka post operasi.
2.9.3
Perencanaan
1.
Diagnosa 1
Gangguan eliminasi
urine berhubungan dengan obstruksi sekunder bekuan darah.
Tujuan : klien dapat
berkemih tanpa disertai retensi setelah dilakukan tindakan.
Kriteria hasil :
menunjukkan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung kemih, berkemih dengan
jumlah normal tanpa retensi.
Intervensi :
1.
Kaji haluaran urine dan sistem
kateter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih.
R/ retensi dapat
terjadi karena edema area bedah, bekuan darah, dan spasme kandung kemih.
2.
Bantu pasien memilih posisi normal untuk
berkemih, contoh berdiri, berjalan ke kamar mandi, dengan frekuensi sering
setelah kateter dilepas.
R/ mendorong pasase
urine dan meningkatkan rasa normalitas.
3.
Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan
ukuran aliran setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung
kemih: ketidakmampuan berkemih, urgensi.
R/ kateter biasanya
dilepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah
untuk beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
4.
Dorong pasien untuk berkemih bila terasa
dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per catatan pemeriksaan.
R/ berkemih dengan
dorongan mencegah retensi urine. Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila
ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang
kandung kemih.
5.
Ukur volume residu bila ada keteter
suprapubik.
Mengawasi keefektifan
pengosongan kandung kemih. Residu lebih dari 50 ml menunjukkan perlunya
kontinuitas kateter sampai tonus kandung kemih membaik.
6.
Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai
toleransi. Batasi cairan pada malam hari, setelah kateter dilepas.
Mempertahankan hidrasi
adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine. Penjadwalan masukan cairan
menurunkan kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
7.
Instruksikan pasien untuk latihan
perineal, contoh mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine.
R/ membantu
meningkatkan kontrol kandung kemih/sfringter/urine, meminimalkan inkintinensia.
8.
Anjurkan pasien bahwa “penetesan”
diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi sesuai kemajuan.
R/ informasi membantu
pasien untuk menerima masalah. Fungsi normal dapat kembali dalam 2-3 minggu
tetapi memerlukan sampai 8 bulan setelah pendekatan perineal.
2.
Diagnosa 2
Gangguan rasa nyaman
nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan, spasme otot karena prosedur
pembedahan.
Tujuan : pasien merasa
nyaman setelah dilakukan tindakan.
Kriteria hasil :
melaporkan nyeri hilang/terkontrol, tampak rileks, tidur/istirahat dengan
tepat.
Intervensi :
1.
Kaji tingkat nyeri, perhatikan lokasi,
intensitas (skala 0-10).
R/
nyeri tajam, intermiten dengan dorongan berkemih/pasase urine sekitar kateter
menunjukkan spasme kandung kemih yang cenderung lebih berat pada pendekatan
suprapubik (biasanya menurun setelah 48 jam)
2.
Pertahankan patensi kateter dan sistem
drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
R/ mempertahankan
fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan risiko distensi/spasme kandung
kemih.
3.
Tingkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari
sesuai toleransi.
R/
menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan konstan ke mukosa
kandung kemih.
4.
Berikan pasien informasi akurat tentang
kateter, drainase, dan spasme kandung kemih.
R/ Menghilangkan
ansietas dan meningkatkan kerja sama dengan prosedur tertentu.
5.
Berikan tindakan kenyamanan (sentuhan
terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung) dan aktivitas perapeutik.
Dorong penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan napas dalam, visualisasi,
pedomam imajinasi.
R/
Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan
koping.
6.
Berikan rendam duduk atau lampu
penghangat bila diindikasikan.
R/
meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema, dan penyembuhan.
7.
Observasi tanda-tanda vital.
R/
Mengetahui bila ada kelainan yang dirasakan oleh klien sejak dini.
8.
Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian analgesik.
.R/
Analgesik berfungsi untuk menekan rasa nyeri.
3.
Diagnosa 3
Risiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : tindakan
pembedahan.
Tujuan
: tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan.
Kriteria
hasil : tidak mengalami tanda infeksi, mencapai waktu penyembuhan.
Intervensi
:
1. Pertahankan
sistem kateter steril ; berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air,
berikan salep antibiotik di sekitar sisi kateter.
R/ mencegah pemasukan
bakteri dan infeksi/sepsis lanjut.
2. Ambulasi
dengan kantung drainase dependen
R/ menghindari refleks
balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke dalam kandung kemih.
3. Awasi
tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat,
gelisah, peka, disorientasi.
R/ pasien yang
mengalami sitoskopi dan/atau TUR prostat berisiko untuk syok bedah/septik
sehubungan dengan manipulasi/instrumentasi.
4. Observasi
drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik.
R/ adanya drain, insisi
suprapubik meningkatkan risiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema,
drainase purulen.
5. Observasi
terjadinya tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsio laesa)
R/ munculnya salah satu
atau semua tanda infeksi merupakan indikasi kuat terjadinya infeksi.
6. Lakukan
rawat luka dengan teknik aseptik.
R/ aseptik merupakan
tindakan perawat secara steril dalam merawat luka.
7. Kurangi
faktor infeksi nosokomial dengan memasang gurita.
R/ gurita mampu
memberikan rasa nyaman dan melindungi luka operasi dari faktor infeksi.
8. Kolaborasi
dengan tim dokter dalam pemberian antibiotik.
R/ Mencegah terjadinya
infeksi yang lebih luas.
9. Kolaborasi
dengan tim gizi dalam pemberian diit TKTP.
R/ diit TKTP mampu
memberikan nutrisi yang adekuat pada luka dalam proses penyembuhan.
4.
Diagnosa 4
Risiko
tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis: status
kesehatan, prosedur pembedahan.
Tujuan
: fungsi seksual dapat dipertahankan setelah dilakukan tindakan.
Kriteria
hasil : tampak rileks, dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat diatasi,
menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah.
Intervensi
:
1.
Berikan keterbukaan pada pasien/orang
terdekat untuk membicarakan tentang masalah funsi seksual.
R/
dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan dpat menyembunyikan pertanyaan
yang diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi
yang dinerikan sebelumnya.
2.
Berikan informasi akurat tentang harapan
kembalinya fungsi seksual.
R
/ impotensi fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur
radikal; pada pendekatan lain aktivitas seksual dapat dilakukan seperti biasa
dalam 6-8 minggu.
3.
Diskusikan dasar anatomi. Jujur dalam
menjawab pertanyaan pasien.
R/
prosedur bedah mungkin tidak memberikan pengobatan permanen, dan hipertrofi
dapat berulang.
4.
Diskusikan ejakulasi retrograd bila
pendekatan transuretral/suprapubik digunakan.
R/
cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan di sekresikan melalui urine.
Ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan
menyebabkan urine keruh.
5.
Instruksikan latihan perineal dan interupsi/kontinu
aliran urine.
R/
meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urinaria dan fungsi seksual.
5.
Diagnosa 5
Kurangnya
pengetahuan tentang kondisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya
informasi.
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat menguraikan perawatan
pasien pasca prostatektomi.
Krieria
hasil : menyatakan pemahaman prosedur bedah dan pengobatan, melakukan dengan
benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi
:
1. Kaji
implikasi prosedur dan harapan masa depan.
R/ memberikan dasar
pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
2. Tekankan
perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah, meningkatkan diet tinggi
serat.
R/ meningkatkan
penyembuhan dan mencegah komplikasi, menurunkan risiko perdarahan pascaoperasi.
3. Diskusikan
pembatasan awal, contoh menghindari mengangkat berat, latihan keras,
duduk/mengendarai mobil terlalu lama, memanjat.
R/ peningkatan tekanan
abdominal/meregangkan yang menempatkan stres pada kandung kemih dan prostat,
menimbulkan risiko perdarahan
4. Dorong
kesinambungan latihan perineal.
R/ Membantu kontrol
urinaria dan menghilangkan inkontinensia.
5. Instruksikan
perawatan kateter urine bila ada. Identifikasi alat/dukungan.
R/ meningkatkan
kemandirian dan kompetensi dalam perawatan diri.
6. Kaji
ulang tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik contoh eritema, drainase
purulen dari luka ; perubahan dari karakter/jumlah urine, adanya
dorongan/frekuensi; perdarhan berat, demam/menggigil.
R/ intervensi cepat dapat
mencegah komplikasi serius.
6.
Diagnosa 6
Gangguan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan dampak nyeri akibat luka
post operasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam klien dapat beraktivitas secara mandiri untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri
Kriteria Hasil :
-
Klien dapat duduk tanpa bantuan
keluarga.
-
Klien mampu berdiri.
-
Klien mampu untuk makan, minum tanpa
bantuan keluarga.
-
Klien mampu berjalan
di sekitar ruangan
Intervensi
:
1. Kaji
tingkat keterbatasan klien dalam beraktivitas.
R/ Mengetahui keterbatasan klien
dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
2. Beri
dorongan pada klien untuk latihan gerak.
R/ Dengan motivasi, klien agar
tidak pasif di tempat tidur, guna membantu proses penyembuhan.
3. Bantu
klien dalam latihan gerak.
R/ Dengan latihan aktivitas ringan
dapat mengurangi kekakuan otot
4. Libatkan
keluarga untuk melatih klien secara teratur.
R / Dengan latihan ringan secara
teratur dan mandiri dapat membantu proses penyembuhan
2.9.4
Pelaksanaan
Pelaksanaan rencana keperawatan adalah kegiatan atau tindakan yang
diberikan kepada klien sesuai dengan rencana keperawatan yang telah diterapkan
tergantung pada situasi dan kondisi klien saat itu.
Pada diagnosa gangguan
eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi sekunder bekuan darah dilakukan
tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien dengan intervensi mengkaji haluaran
urine dan sistem kateter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih,
membantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih contoh berdiri, berjalan
ke kamar mandi, memperhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah
kateter dilepas, mendorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi
tidak lebih dari 2-4 jam per catatan pemeriksaan, mengukur volume residu bila
ada keteter suprapubik, mendorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi,
menginstruksikan pasien untuk latihan perineal, menganjurkan pasien bahwa
“penetesan” diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi sesuai
kemajuan.
Pada diagnosa keperawatan gangguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan, spasme otot karena prosedur
pembedahan dilakukan tindakan sesuai keadaan pasien dengan intervensi mengkaji
nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), mempertahankan patensi
kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan,
meningkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi, memerikan pasien
informasi akurat tentang kateter, drainase, dan spasme kandung kemih, memberikan
tindakan kenyamanan (sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung)
dan aktivitas perapeutik, memberikan rendam duduk atau lampu penghangat bila
diindikasikan, Observasi tanda-tanda vital, kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian analgesik.
Pada diagnosa risiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif tindakan pembedahan
setelah dilakukan tindakan sesuai keadaan pasien dengan intervensi mempertahankan
sistem kateter steril ; berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air,
berikan salep antibiotik di sekitar sisi kateter, mengambulasi dengan kantung
drainase dependen, mengawasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil,
nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka, disorientasi, observasi drainase dari
luka, sekitar kateter suprapubik, observasi tanda-tanda terjadinya infeksi
(kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolaesa), lakukan rawat luka dengan teknik
aseptik, kurangi faktor infeksi nosokomial dengan memasangkan gurita,
kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian antibiotik, dan dengan tim gizi
dalam pemberian diit TKTP.
Pada diagnosa risiko tinggi terhadap
disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis: status kesehatan, prosedur
pembedahan setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien dengan
intervensi memberikan keterbukaan pada pasien/orang terdekat untuk membicarakan
tentang masalah funsi seksual, memberikan informasi akurat tentang harapan
kembalinya fungsi seksual, mendiskusikan dasar anatomi, mendiskusikan ejakulasi
retrograd bila pendekatan transuretral/suprapubik digunakan, menginstruksikan
latihan perineal dan interupsi/kontinu aliran urine.
Pada diagnosa kurangnya pengetahuan
tentang kondisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien dengan intervensi
mengkaji implikasi prosedur dan harapan masa depan, menekankan perlunya nutrisi
yang baik, dorong konsumsi buah, meningkatkan diet tinggi serat, mendiskusikan
pembatasan awal, contoh menghindari mengangkat berat, latihan keras,
duduk/mengendarai mobil terlalu lama, memanjat, mendorong kesinambungan latihan
perineal, menginstruksikan perawatan kateter urine bila ada. Identifikasi
alat/dukungan, mengkaji ulang tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik
contoh eritema, drainase purulen dari luka perubahan dari karakter/jumlah urine,
adanya dorongan/frekuensi perdarahan berat, demam/menggigil.
Pada diagnosa gangguan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan dampak nyeri akibat luka post operasi
setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien dengan intervensi
mengkaji tingkat keterbatasan klien dalam beraktivitas, beri dorongan pada
klien untuk latihan gerak, bantu klien dalam latihan gerak, libatkan keluarga
untuk melatih klien secara teratur
2.9.5
Evaluasi
Dilaksanakan suatu penelitian
terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan atau dilaksanakan dengan
berpegang teguh pada tujuan yang ingin dicapai. Pada bagian ini ditentukan
apakah perencanaan sudah tercapai atau belum, dapat juga timbul masalah baru.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan eliminasi
urine dapat terpenuhi, gangguan rasa nyaman nyeri berkurang, risiko tinggi
terhadap infeksi terhindari, fungsi seksual dapat dipertahankan, kurangnya
pengetahuan tentang kebutuhan pengobatan dapat teratasi, dan kebutuhan
sehari-hari dapat terpenuhi secara mandiri.
kak maaf untuk hasil prevalensi BPH dalam Riskesdas 2013 ada dihalaman berapa ya kak
BalasHapuskak mau nanya, untuk mencari data WHO bagaimana ya kak? soalnya saya nyari kog susah sekali. salam yuliantin r dari kampus akper ngawi
BalasHapusLucky Club - Live Dealer Casino Site
BalasHapusLucky Club is a live dealer casino & mobile casino. Play slots, table luckyclub games and live dealer casino games for real money or free. Sign up and register now!